Sepertiga dari emisi gas rumah kaca Indonesia dari deforestasi berasal dari kawasan yang tidak resmi didefinisikan sebagai “hutan”, sehingga upaya untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD +) tearancam gagal kecuali perhitungan mereka untuk karbon di seluruh lansekap negara itu. Demikian terungkap dalam sebuah laporan baru yang diterbitkan oleh World Agroforestry Centre.
Laporan briefing kebijakan itu menemukan bahwa hingga 600 juta ton emisi karbon hutan Indonesia “terjadi di luar kawasan yang didefinisikan sebagai hutan,” karena itu tidak terhitung berdasarkan kebijakan nasional REDD+ saat ini, yang jika diterapkan, akan memungkinkan Indonesia untuk mendapatkan kompensasi dari negara-negara industri untuk melindungi karbon yang padat di hutan dan lahan gambut sebagai mekanisme perubahan iklim.
Sementara REDD + dipandang sebagai cara yang menjanjikan untuk mendanai konservasi hutan, sedangkan secara bersamaan terjadi perlambatan perubahan iklim dan menghasilkan peluang untuk pembangunan berkelanjutan. Namun REDD + di Indonesia masih mengalami kerancuan tentang apa yang disebut “hutan.” Sektor kehutanan tertarik untuk mengklasifikasikan perkebunan sebagai hutan, yang akan bisa menghasilkan biaya karbon subsidi konversi “kerusakan” hutan dan lahan berkayu – beberapa di antaranya mungkin menyimpan sejumlah besar karbon – termasuk industri kayu dan perkebunan kelapa sawit.
Laporan CGIAR menyoroti risiko ini, bahwa cadangan karbon di luar kawasan hutan dapat habis pada 2032 jika kecenderungan ini terus berlangsung. Dikatakan “kebocoran”, atau pengalihan deforestasi dari daerah yang dilindungi dari eksploitasi, akan menjadi penggerak utama dari emisi.
“Jika emisi karbon dari luar kawasan hutan terhitung, akan menjadi jelas bahwa tidak ada pengurangan emisi bersih di Indonesia,” ungkap laporan ini.
Untuk menghindari hasil ini dan menghentikan perdebatan atas definisi hutan, laporan CGIAR mengusulkan sistem perhitungan karbon yang lebih komprehensif, yang dijuluki “Pengurangan Emisi dari Semua Penggunaan Tanah” (Reducing Emissions from All Land Uses – REALU)
“REALU dapat lebih efektif mengurangi emisi bersih, dan lebih menjamin kegiatan pengurangan lokal yang sesuai,” ungkap laporan CGIAR. “Pendekatan REALU dapat mengatasi ketidakjelasan definisi hutan dan membantu menangkap kebocoran emisi antar sektor.”
Laporan ini berpendapat bahwa pendekatan yang lebih holistik akan lebih baik menghitung karbon yang tersimpan dalam tanah serta emisi dari pertanian. Di sini menyimpulkan dengan mencatat bahwa hasil sementara masih awal, perlu memikirkan kembali ” desain kebijakan REDD + agar lebih bijaksana.
“Desain REDD + di Indonesia (dan kondisi serupa di tempat lain) mungkin memerlukan pemikiran ulang yang serius,” tulis penulis laporan. “Di sini juga dapat membawa desain REDD + internasional kembali, terutama dalam pendapat yang terang untuk sebuah pendekatan yang komprehensif untuk pengurangan emisi dari pertanian.”