Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Proyek REDD Berpotensi Langgar Hak Masyarakat Adat dan Timbulkan Konflik

Proyek pengurangan emisi dari kerusakan hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation-REDD) dalam program Kalimantan Forest and Climate Partnership (KFCP) antara Indonesia dan Australia berpotensi melanggar hak masyarakat adat dan menimbulkan konpflik masyarakat. Proyek ini tidak menjamin atau mengakui keberadaan masyarakat adat di wilayah tersebut seperti yang disebutkan dalam Deklarasi PBB tentang masyarakat adat (UNDRIP).

“Padahal Indonesia dan Australia telah mendukung deklarasi ini, tapi justru mengabaikannya,” kata M. Teguh Surya, Kepala Departemen Advokasi dan Jaringan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), saat konferensi pers di Jakarta (30/11).

Menurutnya proyek ini hanya mengutamakan mekanisme pasar untuk memperjualbelikan kredit karbon dari hutan Indonesia dan membantu Australia untuk menghindar dari tanggung jawab penurunan emisi. Komitmen Australia sebesar 30 juta dolar Australia selama empat tahun untuk proyek ini adalah bukti bahwa bantuan asing baik dalam bentuk hibah maupun utang, bertendensi melanggengkan kepentingan negara donor. Demi melayani insdustri di Australia yang rakus energi kotor, pemerintah Australia melempar kewajiban untuk menurunkan emisi dengan dalih hibah dan utang kepada pemerintah Indonesia.

REDD ini merupakan proyek termurah yang telah berlangsung sebelum ada kesepakatan perundingan perubahan iklim di Kopenhagen. Seperti halnya di Nangroe Aceh Darussalam (NAD), proyek REDD di Kalimantan Tengah seluas 100 ribu hektar juga hanya dihargai 12 rupiah per meter persegi.

“Nilai ini tidak cukup untuk kompensasi yang bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya yang biasanya mendapatkan nilai tambah dari hasil hutan, seperti rotan, tanaman obat-obatan dan sebagainya,” kata Teguh.

Dengan adanya proyek REDD, masyarakat sekitarnya tidak dapat mengakses kawasan dimana proyek REDD berlangsung.

Sementara menurut Elhisa Kartini dari Serikat Petani Indonesia (SPI), skema REDD merupakan bentuk meluasnya perampasan tanah masyarakat seputar hutan. Seperti yang terjadi di Jambi, seluas 101 ribu  hektar lahan petani disiapkan untuk proyek REDD oleh perusahaan dengan dana dari Inggris.

“Proyek REDD bukan solusi pemecahan perubahan iklim. Tidak memberikan keuntungan. Hanya berorientasi pasar sebelum perundingan perubahan iklim usai,” jelas Kartini.

Lebih lanjut Kartini menyebutkan bahwa pertanian berkelanjutan merupakan solusi perubahan iklim yang nyata. Tanpa menggunakan bahan-bahan kimia buatan, pertanian berkelanjutan dapat mengurangi 50% emisi gas rumah kaca dari pertanian besar dunia.

Selain itu menurut Teguh, solusi penting lainnya adalah cara pandang perundingan ekonomi praktis harus dirubah dan lebih mengutamakan keselamatan rakyat. Permintaan kayu dan energi harus dihentikan atau dikurangi karena tanpa itu tidak akan berarti. Indonesia harus mengajukan preferensi untuk mencegah kerusakan hutan dan mencegah terjadinya dampak.

Seperti halnya Bolivia dan Brazil yang menyampaikan REDD tanpa mekanisme pasar. Kedua negara dengan hutan yang luas di dunia ini berani menekan negara maju dengan mengancam menghentikan suplay kayu dan  membawa mandat dari masyarakatnya dimana Indonesia telah mengabaikannya.

Tidak Disepakati

Proyek REDD yang belum mendapat kesepakatan dalam perundingan perubahan iklim ini diindikasikan tidak akan mendapat kesepakatan di perundingan iklim Kopenhagen. Sebagian besar para pihak belum memahami seluk beluk REDD ini. Bahkan India mengusulkan agar REDD tidak dibahas karena banyak negara yang belum mengerti.

Meski demikian menurut Kartini, proyek REDD akan tetap berlangsung di Indonesia sebagai upaya voluntary (sukarela) bagi penurunan emisi Indonesia dan negara terkait proyek itu. Terlebih lagi Indonesia telah memiliki Permenhut dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengatur tentang carbon trade dan REDD. Proyek yang bersifat voluntary ini berbahaya karena tidak hanya dimanfaatkan oleh negara maju tetapi juga oleh perusahaan yang hanya mencari keuntungan.

Tanpa adanya proyek REDD ini menurut Teguh, sebenarnya Indonesia telah mempunyai kewajiban menjaga hutan karena tuntutan domestik dalam negeri yang telah mengalami banyak dampak akibat kerusakan hutan, seperti banjir, longsor dan sebagainya. Proyek REDD ini juga tidak masuk sebagai aksi mitigasi untuk menurunkan emisi seperti yang telah diatur dalam Protokol Kyoto. Sehingga disepakati atau tidak proyek REDD dalam perundingan iklim di Kopenhagen, negara maju tetap berkewajiban menurunkan emisi.

Oleh: Ani Purwati – 01 Dec 2009

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *