Ani Purwati – 20 Jul 2010
Kementerian Lingkungan Hidup Peru (Minam) telah mengeluarkan Keputusan tertinggi tentang Program Konservasi Hutan Nasional untuk mitigasi perubahan Iklim. Program ini akan melindungi sekitar 54 juta hektar hutan tropis di Peru. Keputusan ini diterbitkan pada hari Kamis (15 Juli) dalam publikasi resmi El Peruano. Demikian informasi dari Peruvian Times (http://www.peruviantimes.com/environment-ministry-to-create-national-program-for-forest-conservation/177042), 17 Juli lalu.
Tujuan khusus program ini mencakup identifikasi dan pemetaan kawasan untuk konservasi, mempromosikan pembangunan yang berkelanjutan dalam hutan untuk memberikan penghasilan bagi penduduk lokal, memperkuat keterampilan dan kapasitas pemerintah regional dan lokal, serta penduduk lokal, dan untuk mempromosikan konservasi. Program ini akan dipimpin oleh seorang koordinator eksekutif, yang akan melaporkan kepada Deputi Menteri Minam tentang Pengembangan Strategis untuk Sumber Daya Alam.
“Ini adalah pesan yang jelas kepada masyarakat internasional, bahwa Peru telah melangkah sesuai dengan apa yang ditetapkan peraturan terkait masalahl-masalah lingkungan,” kata Antonio Brack, Menteri Lingkungan Hidup seperti yang dilaporkan harian El Comercio.
Program ini akan mendapat dukungan dana dari pemerintah asing dan organisasi internasional. Pemerintah Jerman telah sepakat untuk menyediakan dana sebesar 10 juta, sedangkan Jepan International Cooperation Agency akan menyediakan dana sebesar 40 juta. Pemerintah Amerika Serikat, Bank Dunia, dan Inter-American Development Bank, kemungkinan adalah sumber pendanaan lainnya, kata Brack.
Hutan tropis Peru berada di bawah ancaman penebangan liar, dari proyek-proyek pertanian skala besar, dan dari promosi aktif pemerintah dalam pertambangan, proyek minyak dan hidro seluruh Amazon. Dalam publikasi tahun lalu, Ahli Lingkungan, Marc Dourojeanni, bersama dengan Alberto Barandiarán dan Diego Dourojeanni, memperkirakan meluasnya ancaman di hutan Amazon di Amazon Peru tahun 2021.
Baru-baru ini, Peru dan Brasil menandatangani perjanjian untuk membangun enam bendungan pembangkit listrik tenaga air di Peru untuk menyediakan listrik terutama untuk Brasil. Salah satu bendungan, sebesar 2000 MW, proyek di Sungai Inambari senilai 4 milyar – akan menjadi bendungan terbesar di Peru dan terbesar kelima di Amerika Latin- dan bisa mengancam timbulnya banjir pada 46.000 hektar dan menggusur sekitar 10.000 masyarakat adat yang akan kehilangan pertanian mereka dan lokasi memancing. Ini juga bisa membanjiri sekitar 120 km Jalan Raya Inter- Oceanic yang baru dan mahal.
Sementara itu Pemerintah Indonesia juga berupaya menghasilkan kebijakan untuk menangani perubahan iklim ini, yaitu dengan menyusun Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim (RAN-PI). Langkah ini juga untuk memenuhi pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam salah satu pidatonya di acara G-20, di Pittsburgh, bahwa Indonesia secara sukarela sebagai negara non-Annex I, bersedia menurunkan emisi gas rumah kacanya sebesar 26% pada 2020. Target 26% itu dengan dana dalam negeri dan akan bertambah 14% dengan dana luar negeri sehingga menjadi 41%.
Menurut Farhan Helmy, dari Kelompok Kerja Mitigasi, Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) di kantor DNPI, Gedung BUMN, Jakarta (15/4), pemerintah memperkirakan emisi netto Indonesia bertambah dari 1.35 menjadi 2.95 GtCO2e antara tahun 2000 dan 2020. Sedangkan target penurunan emisi 26% berasal dari kehutanan dan lahan gambut 0,672 GT CO2e, limbah 0.048 GT CO2e, pertanian 0.008 GT CO2e, industri 0.001 GT CO2e, energi dan transportasi 0.038 GT CO2e dengan total 0.767 emisi.
Untuk mencapai penurunan emisi 26%, saat ini Bappenas telah menyusun Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim. Menurut Helmy, kegiatan penurunan emisi difokuskan pada kegiatan penurunan emisi GRK dan peningkatan kapasitas absorpsi GRK. Kegiatan-kegiatan itu juga tidak menghambat pertumbuhan ekonomi (tetap memprioritaskan kesejahteraan rakyat), mendukung perlindungan masyarakat miskin dan rentan serta pelestarian lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan, dan meliputi kegiatan yang langsung menurunkan emisi dan penguatan kerangka kebijakan.
“Rencana aksi itu terintegrasi antara satu bidang dengan bidang yang lain dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta perencanaan tata ruang dan peruntukan penggunaan lahan,” jelas Helmy. “Selain itu juga memberikan kontribusi pada upaya global penurunan emisi dan mengoptimalkan potensi pendanaan internasional untuk kepentingan Indonesia,” lanjutnya.
Saat ini payung hukum yang mengesahkan Rencana Aksi Nasional penurunan emisi GRK (RAN-PI) berupa Keputusan Presiden (Keppres). RAN-PI terdiri dari pertama kegiatan Inti, yaitu kegiatan yang dapat diperhitungkan kontribusinya dalam penurunan net-emisi GRK. Misalnya penurunan deforestasi (pengendalian kebakaran, illegal logging, konversi, dan lain-lain), kegiatan peningkatan penyerapan karbon (penanaman), pengelolaan lahan gambut, energy mix, dan pengelolaan sampah. Kedua kegiatan pendukung, yaitu kegiatan yang mendukung penurunan emisi GRK, misalnya pemetaan, penelitian, inventarisasi GRK, measurability, reportability and verifiability (MRV).