Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Perubahan Iklim: Saatnya Ubah Paradigma Pembangunan, Utamakan Kearifan Lokal

Ani Purwati – 10 Jun 2009

Perubahan iklim merupakan bukti nyata kegagalan utama perencanaan pembangunan selama ini. Masyarakat adat menilai sekarang ini saatnya untuk merubah pengaturan global dalam pembangunan.

“Dalam 100 tahun terakhir ini tidak ada lain selain pengaturan kembali. Yaitu merubah paradigma pembangunan yang hanya memenuhi kebutuhan negara industri menjadi lebih mengutamakan kearifan lokal,” jelas Abdon Nababan sebagai Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat (Aman) saat konferensi pers bersama wartawan di Jakarta (10/6) terkait dengan berlangsungnya perundingan iklim di Bonn yang saat ini sedang berlangsung.

Menurutnya, penelitian membuktikan bahwa solusi dari perubahan itu ada di masyarakat adat bersama kearifan lokal yang hidup dengan emisi rendah, berdaulat ekonomi dan politik, serta berdaya dalam budaya tanpa hutang.

Untuk mewujudkan adanya perubahan pengaturan global dalam pembangunan yang lebih mengutamakan kearifan masyarakat adat tersebut, Aman bersama Forum Permanen PBB tentang Masalah Masyarakat Adat terus melakukan perundingan termasuk di Bonn saat ini. Sehingga bagaimana instrumen itu dapat digunakan oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia untuk mencapai kemandirian dengan mengikutsertakan masyarakat adat dalam setiap pembahasan iklim dan sebagainya.

Lebih lanjut dikatakannya, ketika ada kesempatan merubah, jangan malah menambah penjajahan dengan hutang. Perubahan iklim harus menjadi awal negara-negara di dunia mempunyai posisi setara. Tidak menyebutkan tentang investment tetapi negosiasi investasi.

Saat ini sudah terjadi banyak dampak perubahan iklim. Berkaitan dengan sejarah hutang emisi dari negara-negara industri maju sejak ratusan tahun lalu, Pemerintah Indonesia harus meminta negara penyebab emisi tersebut untuk meminta maaf.

“Mereka tidak hanya membayar ke masyarakat adat tapi masih mengeluarkan emisi yang tinggi. Yang terpenting bagi masyarakat adat adalah pengakuan dan pemenuhan haknya, tidak boleh hanya perdagangan saja,” kata Nababan.

Pemerintah Indonesia seharusnya menjadi bagian dari  masyarakat adat untuk membuat kerangka hukum perundingan iklim di Bonn saat ini (1-12 Juni) dan di Kopenhagen Desember nanti. Namun dari pengamatan Nababan, kenyataannya Pemerintah Indonesia tidak ada usaha untuk memenuhi itu, meski sudah menandatangani Deklarasi Hak-Hak Masyarakat Adat di PBB.

Pemerintah justru menunjukkan inkonsistensi terkait konservasi dan konversi menurut Abetnego Tarigan sebagai Direktur Eksekutif Sawit Watch. Seperti Permentan tentang lahan gambut yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.

Memang kelapa sawit bisa menyerap emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global dan perubahan iklim menurutnya. Namun ternyata juga mengeluarkan emisi yang besar. Perkebunan kelapa sawit hanya menyerap CO2 sebanyak 5,2 ton per hektar per tahun, namun melepaskan CO2 lebih besar sebanyak 18 ton per hektar per tahun.  “Belum lagi emisi dari pestisida dan transportasinya,” jelas Tarigan.

Selama ini disebutkan bahwa kelapa sawit dapat menjadi biofuel sebagai sumber energi yang ramah lingkungan tapi kenyataannya hanya untuk kepentingan ekonomi saja. Untuk itu Tarigan bersama Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim  (Civil Society Forum for Climate Justice) meminta Pemerintah Indonesia menghentikan alih fungsi hutan dan lahan gambut untuk perkebunan sawit dan lainnya selain melindungi dan memenuhi hak-hak masyarakat adat.

Kurangi Emisi

Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim juga mendesak kelompok negara Annex I untuk memenuhi komitmen memotong emisinya. Dalam perundingan iklim di Bonn saat ini, negara-negara maju itu seharusnya memastikan pemenuhan komitmennya dalam Protokol Kyoto, bukan menyodorkan proposal baru untuk mengamandemen Protokol Kyoto.

Giorgio Budi Indarto sebagai Koordinator Nasional Masyarakat Sipil Indonesia mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia seharusnya berperan dalam mengarahkan perundingan iklim saat ini untuk menurunkan emisi secara nyata yang merupakan tujuan awal Konvensi Perubahan Iklim PBB.

Perundingan iklim di Bonn saat ini akan menjadi bahan pembahasan dalam Konferensi Perubahan Iklim di Kopenhagen nanti yang merupakan kesempatan terakhir dunia untuk mewujudkan perubahan iklim, sehingga delegasi yang hadir dalam perundingan iklim di Bonn harus benar-benar mengambil tindakan yang dapat menyelamatkan dunia.

Kurang Arah Jelas

Namun dalam isu utama yang harus diperhatikan dalam setiap perundingan iklim seperti hutan, laut dan masyarakat adat, Pemerintah Indonesia masih kurang memiliki arah yang jelas menghadapi perubahan iklim.

Saat ini di Bonn, Pemerintah menyampaikan kesiapannya di sektor laut dan hutan dalam menghadapi perubahan iklim. Namun kenyataannya masih banyak masalah di dalamnya yang belum diselesaikan seperti konflik lahan, konversi hutan dan hak-hak masyarakat adat. Pemerintah Indonesia hanya semata-mata melihat peluang perdagangan.

Sekarang Pemerintah menurut Giorgio, hanya membahas tentang REDD menjadi REDD plus (plus CDM, carbon trade), menjaga hutan yang diperluas, dan mempromosikan hasil-hasil Konferensi Kelautan Dunia di Manado lalu. Namun apa yang mereka sampaikan menurutnya, masih jauh dari partisipasi masyarakat adat.

Menurut Riza Damanik sebagai Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Pemerintah Indonesia juga harus melakukan komunikasi bilateral dengan negara-negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia baik laut maupun darat untuk mencegah konflik dalam memperebutkan kawasan perbatasan dan daerah penangkapan nelayan tradisional. Namun saat ini belum ada langkah diplomatis ke arah itu

Perubahan iklim akan mengakibatkan 3000 pulau di Indonesia tenggelam dan akan berimplikasi berubahnya kawasan perbatasan. Masyarakat nelayan Indonesia biasanya menangkap ikan di kawasan perbatasan dengan alat tangkap tradisional. Bila perbatasan berubah, maka konflik terkait batas penangkapan akan meningkat.

Dalam hukum laut internasional menurut Damanik, kawasan itu diakui sebagai kawasan tangkap tradisional yang harus dilindungi pemerintah. Tanpa upaya strategis pemerintah dalam mengupayakan perlindungan itu maka hak-hak masyarakat adat (tradisional) dan kedaulatan negara akan terancam.

Berita Terkait: http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&newsID=B0164&ikey=1

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *