Krisis ekonomi paska pandemi covid19 dan perang Ukraina itu berimplikasi pada situasi pangan di Indonesia. Sebagian produk pangan yang dikonsumsi di Indonesia berasal dari negara lain. Import kedelai yang luar biasa yang berpengaruh pada pengrajin tempe tahu karena harganya naik pesat. Demikiaan juga dengan harga gandum yang sekarang meningkat juga berimplikasi.
“Tren impor sejak tahun 80-an terus meningkat. Komoditas yang bisa kita tanam sendiri seperti kedelai juga impor, bahkan garam juga,” ungkap Said Abdullah sebagai Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) saat membuka acara Potret Keadilan Iklim di Akar Rumput di Jakarta, 4 November 2022.
“Sementara itu ancaman global perubahan iklim sejak lama juga berpengaruh pada ketahanan pangan dan produsen pangannya. Kita jarang ingat ketika menyuap makanan siapa yang memproduksinya, bagaimana nasibnya. Situasi perubahan iklim ini layak kita renungkan, yang memproduksi dan siapa yang memproduksi,” lanjutnya.
Mama Reti, petani di Indramayu mengalami kesulitan dengan adanya perubahan iklim. Bagaimana dia berjuang setiap gagal panen berusaha mencari kerja lain untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Kalau terjadi serangan hama, kekeringan, banjir, adalah kejadian yang semakin tinggi dialaminya. Mama Reti juga harus memungut sisa panen orang lain yang hanya 3-4 kg untuk konsumsi hari itu juga.
Suara mereka tidak pernah didengar oleh pemangku kepentingan. Para pejuang pangan seperti Mama Reti dan lainnya di desa seluruh Indonesia adalah salah satu korban dari ketidakadilan dampak perubahan ikim. Negara maju terus memproduksi emisi yang menyebabkan perubahan iklim, bahkan kita yang tinggal di kota juga memproduksi emisi tanpa berpikir dan merenungkan berapa banyak dampak yang kita lakukan, perilaku kita terutama konsumsi kita.
“Ini kontek yang perlu kita renungkan dan tentu saja suara Mama Reti mewakili produsen pangan kecil di Indonesia bisa kita dengar bersama sehingga kita di kota punya semangat kesadaran baru bahwa persoalan pangan adalah tanggung jawab kita semua. Terkait perubahan iklim kita agar berperilaku adil pada alam dan lingkungan agar bisa menghidupkan sikap positif mendukung keadilan bagi produsen pangan,” tegas Said.
Mama Reti yang hadir di acara inipun mengungkapkan bagaimana kesulitan saat gagal panen karena banjir dan kekeringan. Di kala air berlimpah saat hujan terjadi banjir namun saat musim tanampun mengalami kesulitan air karena kekeringan. Sumber air di dekatnya tidak ada. Dia bersama petani lain di Indramayu harus menjangkau sumber air yang jauh jaraknya.
JJ. Rizal, Sejarawan menyampaikan bahwa petani itu seharusnya menjadi mahkota, simbol kesejahteraan. Tapi justru menjadi sumber kesedihan. Ceritanya kesedihan, lahan dihabisi, gagal panen, kekeringan dan lain-lain. Petani hanya diingat dalam cerita romantis bahwa kita sebagai Negara Agraris. Kolonialisme itu soal pangan, mencari tanah. Kolonialisme adalah sistem bukan ras. Jadi yang dibenci orang-orang yang membuat sistem itu. Untuk itu mereka jadi radikal termasuk dalam kedaulatan pangan dimana Hari Pangan 16 Oktober, segaris dengan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober, lalu ada Hari Pahlawan 10 November. Yang menunjukkan radikal, keras, perlawanan, menuntut keadilan.
“Juru selamat kedaulatan pangan kita itu dapur. Persoalannya budaya dapur kita mati selama ada makanan online saat ini. Orang tidak kenal lagi budaya masak bersama. Selama dapur hidup maka ekologi yang mendukung dapur, menghasilkan resep-resep jadi makanan khas dari tiap etnik di Indonesia hidup. Kalau dapur hidup akan terkoneksi dengan alam, pekarangan, hutan sebagai sumber pangan,” ungkap Rizal.
Selain itu keputusan kebijakan politik yang jauh, tidak mengetahui budaya, ekologi, dan kemanusiaan sangat destruktif. Jadi selain menghidupkan dapur juga bagaimana menciptakan proses pembebasan dari kaum elit. Dengan mengakses mereka agar mengenal budaya makanan dari dapur sendiri di Indonesia.
Dewi P Sutejo, dari Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) mengungkapkan bahwa saat ini yang terjadi adalah menuntut keadilan iklim. Negara maju di Utara yang merusak tapi negara Selatan yang disuruh bertanggung jawab atas perubahan iklim dengan menyelamatkan hutan dan lain-lain. Perubahan iklim karena deforestasi hutan (kerusakan hutan), lahan dikonversi dan diberikan ke investor. Jadi penyelesaiannya tidak hanya food estate dan lain-lain, tapi bagaimana perluasan wilayah kelola lahan.
“Bayangkan kita sudah memetakan 23 juta hektar yang 75 persennya overlapping dengan kawasan hutan yang asumsinya itu masyarakat akan dianggap kriminal kalau merambah hutan atau 75 persennya overlapping dengan konsesi dan tidak ada secure lahan di sana. Petani tidak perlu food estate, biarkan petani mengolah lahannya dengan aman, kemudian pengakuan wilayah-wilayah kelola 23 juta hektar yang sudah dipetakan,” saran Dewi.
Selanjutnya menurut Dewi masyarakat punya sistem yang bijak untuk mengurus sumberdaya alamnya secara turun temurun. Dan itu disuarakan terus ke pemangku kebijakan, tidak hanya fokus pada 23 juta hektar saja.
Roby Bagindo dari Masak TV menyampaikan bahwa tantangan selama ini adalah mengenalkan masakan Indonesia ke orang Indonesia. Bahwa Indonesia mempunyai makanan yang heterogen tapi saat ini akhirnya homogen. Menurut Roby, orang mulai tidak mengetahui makanan lokalnya sendiri. Jadi bagaimana menghargai makanannya sendiri dan daerah lain, lalu tidak hanya mengonsumsi atau makan makanan yang sama, yang hanya dimakan kaum elit saja. “ Ayo kembali ke dapur, belajar memasak apa yang kita makan, kenali, dan makan makanan lokal di dekat kita untuk memotong laju transportasi dan emisi,” pungkas Roby(*)
Dilaporkan oleh Ani Purwati.