Oleh: Anuradha Mittal
Tahun-tahun pertama abad kedua puluh satu akan diingat sebagai tahun perburuan lahan global dalam skala yang hampir belum pernah terjadi sebelumnya.
Diperkirakan 500 juta hektare, area delapan kali ukuran Inggris, dilaporkan telah dibeli atau disewa-beli (lease) di seluruh dunia antara tahun 2000 dan 2011, yang sering dengan mengorbankan hak-hak keamanan pangan dan lahan lokal.
Ketika harga pangan melonjak pada tahun 2008, mendorong sejumlah orang yang kelaparan di dunia mencapai lebih dari satu miliar, yang juga meningkatkan minat investor atas lahan. Dan dalam setahun penawaran tanah untuk orang asing di negara berkembang naik mengejutkan 200 persen.
Saat ini, antusiasme untuk pembatasan pertanian di level spekulatif. Didorong oleh segala sesuatu mulai dari kenaikan harga pangan, permintaan untuk biofuel, dan sektor keuangan telah meningkatkan minat atas tanah pertanian yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Oakland Institute sejak 2011 telah melaporkan bagaimana generasi baru investor institusi- termasuk hedge fund, swasta, dana pensiun, dan dana abadi universitas – bersemangat untuk memanfaatkan lahan pertanian global sebagai aset baru yang sangat diinginkan.
Tapi yang paling konsisten terlewatkan tentang perburuan lahan yang terjadi secara global.
Meskipun liputan media cenderung terfokus pada pengambilan tanah di negara-negara berpenghasilan rendah, di sisi mata uang yang sama adalah perburuan baru atas lahan pertanian di AS, yang mewujud dengan meningkatnya minat investor dan melonjaknya harga tanah, seperti lembaga dana pensiun TIAA- CREF yang berkomitmen miliaran untuk membeli lahan pertanian.
Satu pemimpin industri memperkirakan bahwa investor institusi bernilai 10 miliar AS dollar mencari akses ke lahan pertanian AS, namun angka itu bisa dengan mudah meningkat karena investor berusaha untuk memindahkan dari situasi keuangan tidak menentu dengan menyelamatkan uang mereka dalam pertanian.
Dalam 20 tahun ke depan, seperti Amerika Serikat mengalami krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya yaitu petani pensiun, akan ada banyak kesempatan bagi para pelaku ini untuk memperluas kepemilikan mereka atas sekitar 400 juta hektare. Namun, sebagian besar perburuan lahan masih terlihat di wajah negeri ini.
Untuk semua ambisi dan besaran modal investor institusi, hampir tidak ada yang mengetahui tentang mereka dan praktik bisnisnya.
Dari siapa mereka membeli tanah? Apa yang mereka kembangkan? Bagaimana mereka mengelola properti mereka? Dalam sebuah industri yang tidak mengenal transparansi, tidak ada pertanyaan-pertanyaan yang memiliki jawaban memuaskan.
Selama lebih dari enam tahun, Oakland Institute telah berada di garis depan berupaya memperlihatkan gambaran keruh transaksi tanah di negara berkembang.
Tantangan saat ini adalah untuk memulai diskusi yang lebih holistik yang menempatkan pengalihan tanah baik di negara maju maupun berkembang di seluruh dunia dalam spektrum yang terus menerus.
Didorong oleh faktor-faktor struktural yang sama dan dilakukan oleh banyak investor yang sama, konsolidasi perusahaan pertanian dirasakan sama kuat di Iowa dan California seperti di Filipina dan Mozambik.
Down on the Farm, sebuah laporan baru dari Oakland Institute, bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan tumpang tindih faktor global dan nasional yang memungkinkan perburuan lahan baru Amerika, sementara pada saat yang sama memperkenalkan motif dan praktik beberapa pemain yang paling kuat terlibat dalam itu: UBS Agrivest, anak perusahaan dari bank terbesar di Swiss; Hancock Agricultural Investment Group (HAIG), anak perusahaan dari perusahaan asuransi terbesar di Kanada; dan Teacher Annuity Insurance Association College Retirement Equities Fund (TIAA-CREF), salah satu dana pensiun terbesar di dunia.
Hanya dengan mempelajari motif dan praktik aktor tersebut saat ini maka memungkinkan untuk memulai kebijakan pembangunan dan lembaga-lembaga yang membantu memastikan petani adalah masa depan sistem pangan kita dan bukan investor asing.
Tidak ada yang lebih penting daripada memulai diskusi hari ini. Masalah ini mungkin tampak kecil untuk berbagai alasan – karena institusi investor hanya memiliki satu persen yang tampaknya kecil dari seluruh lahan pertanian AS, atau karena petani masih menjadi pembeli terbesar dari lahan pertanian di seluruh negeri.
Tapi salah satu dari pandangan-pandangan ini adalah bahaya terhadap tren jangka panjang yang mengancam warisan pertanian kita.
Mempertimbangkan fakta bahwa investor percaya lahan pertanian di seluruh Amerika Serikat bernilai sekitar 1,8 triliun dolar. Dari jumlah ini, antara 300 dan 500 miliar AS dollar dianggap memiliki “kualitas kelembagaan,”. Karena memiliki faktor yang terkait dengan ukuran, akses air, kualitas tanah, dan lokasi yang menentukan daya tarik investasi properti.
Hal ini membuat lahan pertanian domestik dilihat sebagai aset besar dan sebagian besar belum dimanfaatkan. Beberapa aktor terbesar di sektor keuangan telah berusaha untuk memanfaatkan kesempatan ini dengan membuat investasi ekuitas di lahan pertanian. Sering, pembeli ini memasuki pasar dengan begitu banyak modal yang tak terbatas dibandingkan dengan sumber daya yang dimiliki sebagian besar petani.
Meskipun mereka telah membuat pijakan yang mengesankan, ini adalah awal, bukan akhir, dari perburuan lahan yang benar-benar bisa mengubah siapa yang memiliki negara dan makanan dan sistem pertanian kita. Tidak hanya ada ruang di pasar bagi investor institusi untuk memperluas, tetapi ada juga insentif keuangan bagi mereka untuk melakukannya.
Jika tindakan tidak diambil, maka badai yang sempurna dari tren global dan nasional dapat bertemu secara permanen menggeser kepemilikan pertanian dari bisnis keluarga menuju investor institusi dan konsolidasi operasional perusahaan lainnya.
(Anuradha Mittal adalah Direktur Eksekutif Oakland Institute) +
Diterjemahkan dari tulisan Anuradha Mittal berjudul The ‘Global’ Land Rush, dalam TWN Agriculture Info, edisi 7 Agustus 2014