Ani Purwati – 26 Dec 2006
Semakin meluasnya perkembangan bioteknologi di muka bumi termasuk di Indonesia, mewajibkan masyarakat untuk mendapat informasi yang selengkap-lengkapnya tentang teknologi itu. Sehingga mereka dapat memilih dan berhati-hati. Jangan sampai mereka justru menjadi korban dari teknologi itu. Pertukaran informasi dari berbagai belahan bumi pun sangat penting. Diantaranya dalam bentuk buku yang berisi data-data perkembangan bioteknologi seperti rekayasa genetik atau transgenik.
Baru-baru ini Konphalindo telah mengeluarkan buku hasil terjemahan dari bahasa Inggris. Buku berjudul Gerakan Menuju Dunia Berkelanjutan Bebas dari Rekayasa Genetik ini telah dibedah dalam acara seminar dan bedah buku pada 13 Desember 2006. Buku karya Mae- Wan Ho dan Lim Li Chiung versi Inggris ini mengandung substansi penting untuk dialihbahasakan ke bahasa Indonesia. Yaitu beberapa risiko yang perlu diperhatikan dalam pengembangan dan pemanfatan transgenik. Sehingga ada informasi yang memperkuat prinsip kehati-hatian bagi semua pihak.
Menurut Purwandono sebagai Direktur Eksekutif Konphalindo, buku yang berisi informasi dari ilmuwan yang tergabung dalam Tim Panel Independen ini menarik. Selama ini sangat sedikit publikasi penelitian bioteknologi (rekayasa genetik) yang menyampaikan prinsip kehati-hatian. Sebagian besar publikasi yang diterbitkan hanya mempromosikan segi positif rekayasa genetik. Sementara risiko-risiko yang kemungkinan muncul di kemudian hari jarang atau bahkan tidak pernah dipublikasikan.
Dengan informasi buku ini, siapa pun dapat mengambil pilihan untuk menerima atau menolak transgenik. Bagi yang menolak, mereka memiliki dasar pemikiran seperti penjelasan buku ini. Mereka pun bisa memanfaatkan teknologi yang ramah lingkungan seperti Pertanian Organik. Namun Purwandono mengaku sulit untuk meyakinkan stakeholders tentang risiko transgenik dan penerapan bioteknologi secara hati-hati. Salah satunya karena yang berlaku sekarang adalah rezim neoliberalisme yang merekayasa genetik organisme (GMO). Ilmuwan yang berani bicara tentang prinsip kehati-hatian juga sulit ditemukan.
Sementara itu Suryo Wiyono sebagai Peneliti dari Institut Pertanian Bogor mengatakan bahwa buku yang bersifat ilmiah populer ini lebih mudah dimengerti kecuali istilah-istilah bioteknologi. Sehingga bisa disampaikan ke publik. Menurutnya, untuk menyampaikan prinsip kehati-hatian dalam pemanfaatan transgenik bukan hanya terkait risiko-risiko genetik, tapi juga hal-hal terkait penyalahgunaan wewenang para stakeholders.
Wiyono juga mengatakan bahwa bioteknologi ini sebenarnya mempunyai kelemahan. Para pihak menganggap dengan transgenik mereka dapat melakukan perubahan yang besar hanya dengan satu gen. Padahal hasilnya tidak terlalu menakjubkan. Teknologi yang dikembangkan dengan biaya APBN ini membutuhkan dana besar, menggunakan alat dan bahan sangat mahal serta hampir semuanya diimpor.
Di Jerman, banyak Profesor yang tidak setuju dengan pengembangan teknologi ke arah transgenik. Mereka menganggap alokasi dana penelitian begitu besar. Namun output yang dihasilkan tidak nyata atau tidak pasti karena reaksi gen yang sulit diketahui.
Monopoli perusahaan
Dalam kesempatan seminar dan bedah buku itu, Ahmad Yacob dari Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) menyatakan bahwa GMO tidak aman bagi kesejahteraan sosial dan ekonomi petani. Sejak adanya perkembangan Revolusi Hijau, masalah yang terjadi tidak terbatas pada genetika, tapi juga persoalan sosial, ekonomi, dan politik.
Petani menjadi tergantung pada benih dan pestisida yang semuanya dikuasai (dimonopoli) perusahaan. Sementara itu menurut Organic Consumer pada 1998 bahwa perusahaan besar penghasil benih dan pestisida itu tidak mempedulikan keamanan produknya pada konsumsi masyarakat. Perusahaan besar itu hanya mencari untung.
Petani dan para peneliti lokal juga tidak dapat mengembangkan kreatifitas yang menghasilkan benih unggul. Perusahaan besar telah mematenkan benih mereka. Sehingga petani dan peneliti tidak memiliki kebebasan lagi dalam mengembangkan plasma nutfah benih itu.
Kondisi itu telah dibuktikan Burhana, petani dari Kediri yang dipenjara karena mengembangkan benih sendiri. Dia mengembangkan benih melalui persilangan karena ingin mengurangi ketergantungan petani pada benih perusahaan. Ternyata hasilnya memiliki sifat yang sama dengan benih perusahaan yang ada di toko-toko. Akhirnya dia diadili karena tuduhan pengembangan benih yang hak patennya dimiliki perusahaan.
Deswina dari LIPI juga membenarkan bahwa perkembangan bioteknologi transgenik lebih dikuasai perusahaan multinasional. Akibatnya ruang gerak peneliti menjadi terbatas. Namun dia tidak sependapat bila bioteknologi dianggap bertentangan dengan pertanian berkelanjutan. Justru menurutnya, kekuatan utama pada bioteknologi transgenik adalah benih yang unggul dan dapat meningkatkan hasil tanpa pupuk, pestisida, dan pengairan yang berlebihan.