Oleh, Ruddy Gustave, Koordinator Peneliti
Benih padi lokal kian lama sudah kian memprihatinkan nasibnya sebab semakin sulit ditemukan di tangan para tani umumnya. Kini, rata-rata benih padi unggul yang paling banyak beredar sementara padi lokal sudah dilupakan dan ditinggalkan karena dianggap sudah tidak sesuai kebutuhan pasar. Namun di beberapa daerah Pulau Bali sekelompok tani tertentu justru kembali menggunakan benih padi lokal.
Paling tidak, dari pengamatan awal tim kajian KONPHALINDO (Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia) di beberapa desa di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali, berhasil mencatat alasan-alasan penting beberapa kelompok tani yang tetap bertahan memilih benih padi lokal, dan menggambarkan pola hubungan antara alam dengan manusia yang menghasilkan tradisi dan budaya pertanian.
Kegiatan usaha di bidang pertanian telah dibuka ratusan tahun silam di sekitar kaki Gunung Batukaru, namun sejumlah narasumber yang ditemui mengaku tidak punya catatan tertulis kapan persisnya kejadian pada waktu itu. Kenyataan, hingga saat ini sebagian kelompok tani di sekitar area sini masih mempraktekan warisan budaya pertaniannya, termasuk mempertahankan pola tanam benih padi merah dan padi hitam.
Kekuatiran hilangnya benih padi lokal bukan isu belaka buktinya upaya pemerintah untuk menggantikan benih padi lokal sudah berlangsung sejak program “revolusi hijau”. Sejumlah petani menceritakan kembali pengalamannya ketika itu mereka didampingi PPL (petugas penyuluh lapangan) agar mengikuti program pertanian nasional “Bimas dan Inmas” sekitar tahun 70an. Akan tetapi apa yang terjadi pada musim tanam berikutnya hampir-hampir tidak terdengar ceritanya.
Ceritanya begini, benih padi baru yang didatangkan dari Pulau Jawa itu ternyata tidak cocok ditanam dengan kondisi alam setempat, akibatnya banyak petani yang gagal panen pada waktu itu. Tetapi kegagalan panen itu tidak berani diceritakan secara terbuka lalu diam-diam mereka kembali pada pertanian cara lama, kata beberapa petani. Meski sudah 40 tahun berlalu namun jejak benih padi produk “revolusi hijau” tersebut ada yang masih bertahan di tangan sejumlah petani antara lain, padi peta, padi cierang, padi cibogo, padi 64 atau IR.
Wayan Sukabuana, petani tinggal di Desa Jatiluwih, mantan pemimpin Desa Adat (Bendesa Adat) menjelaskan kepada kami, ada anggapan banyak orang luar bahwa tanah di area sini subur dan benih padi apa saja yang ditanam seakan pasti memuaskan hasil panennya. Namun anggapan seperti itu tidak selalu tepat terbukti benih padi yang didatangkan dari Pulau Jawa itu menimbulkan banyak masalah sosial-budaya, ekonomi dan lingkungan di daerah ini.
Kondisi Alam Setempat
Tanah di area Desa Jatiluwih sini tidak bisa di atur oleh orang pintar, bukan saya meremehkan, saya menghargai mereka, tetapi kondisi tanah di sini tanam padi satu tahun tiga kali tidak akan berhasil, demikian kata Wayan Sukabuana.
Banyak orang pintar yang datang ke sini tetapi kurang memahami pola tanam padi dengan kondisi tanah dan air setempat, mereka datang hanya berbicara tentang masalah kelembagaan subak dan aturan-aturanya saja, dan setelah itu pergi. Menurut Wayan Sukabuana, di desa ini ada ketentuan yang diyakini bahwa antara satu subak dengan subak yang lain itu tidak boleh bersamaan waktu tanamnya.
Contoh, dimulai dari perhitungan bulan Januari itu masuk pada musim tanam, khusus subak yang letaknya berada di hulu yaitu Subak Gede Jatiluwih, pada hari ketujuh semua lahan anggota sudah harus selesai tanam. Setelah itu, air yang dipakai di subak pertama akan dikeringkan, dialirkan ke subak berikutnya yang berada lebih rendah posisinya. Demikian juga subak yang berikutnya hanya punya waktu tanam selama tujuh hari juga, dan seterusnya seperti itu sampai kurang lebih tiga kilometer jauhnya ke arah selatan yang bisa terpantau. Karena itu harus selesai tanam semuanya dalam waktu tujuh hari jika siapa melanggar batas waktu tanam itu dia akan dikenakan sanksi.
Memang harus diakui bukan hal mudah menjelaskan alasan-alasan dan masalah mengatur batas waktu penggunaan air tersebut. Namun sedikit demi sedikit hal itu dijelaskan oleh Sukabuana dari pengamatannya selama berpuluh tahun. Menurut Wayan, di area lereng gunung kondisi suhu tanah dan suhu airnya kan dingin, tapi kalau sudah mengalir lebih dari satu kilometer kondisi suhu airnya bisa berubah menjadi lebih hangat. Berdasarkan kondisi suhu udara, tanah, dan air seperti itu petani pun menyesuaikan dengan pola tanamnya. Jadi, takut sekali orang tua kita dulu apabila terlambat pada waktu tanam, sebab keterlambatan itu akan mengundang masuk musuh tanaman padi.
Meskipun waktu tanam tiap-tiap subak itu berbeda waktu 7 hari, dan selisih waktu antara subak yang pertama sampai dengan subak ketiga itu sampai 21 hari, anehnya, pada waktu panen nanti bisa bersamaan, atau kata lain tanamnya tidak bersamaan tapi panennya bisa bersamaan.
Memang ada yang mencoba mengatur sendiri waktu tanam, contoh kasus subak yang letaknya di bawah itu pernah coba-coba tanam padi bersamaan dengan waktu tanam subak yang letaknya berada di atas. Jelas itu sudah pasti gagal panen. Memang gagal panen subak tersebut, dan setelah itu mereka tidak berani lagi mendahului apalagi bersamaan waktu tanam dengan subak yang posisinya berada di atas (hulu).
Tata guna lahan dan air yang dipraktekan organisasi subak dalam bahasa sini disebut “temu wiwit”, dan “pluit” adalah istilah untuk mulai tanam. Selanjutnya, menentukan benih padi yang cocok atau “saseh” (bahasa setempat). Mereka tidak pernah mencari atau membeli bibit padi keluar desa tetapi melakukan pemulian sendiri.
Beragam pendapat petani setempat tentang koleksi varietas padi lokal. Secara umum teridentifikasi lima varietas padi lokal saja, sementara yang ada ditangan petani sekarang tersisa hanya dua varietas lokal yang sering dipakai tanam, yaitu padi merah cendana dan padi merah bukit. Mereka mengaku pernah memiliki sebanyak 12 varietas padi lokal tetapi mereka sudah tidak ingat lagi nama-namanya bahkan sudah tidak diketahui lagi keberadaannya.
Benih padi merah cendana dan padi merah bukit disebut yang paling cocok atau “saseh” dengan kondisi alam setempat. Selanjutnya, pola tanam petani menyesuaikan dengan masa pertumbuhan sampai panen. Secara singkat, padi merah lokal hanya sekali dalam setahun, kurang lebih enam bulan umurnya. Setelah panen padi merah lokal sisa waktu empat bulan itu sebetulnya adalah masa “mengasoh”, atau istirahat. Biasanya, para petani beranggapan supaya tanahnya lebih bagus maka ditanam palawija seperti bawang merah, bawang putih, atau sayur-mayur. Ada juga yang tanam padi yang umurnya pendek sekitar empat bulan, padi cicih. Setelah panen tahap kedua itu semua lahan kembali lagi ke padi merah lokal.
Itulah alasan kenapa padi unggul sampai hari ini kurang diminati para petani sini, selain padi merah padi lain tidak ada yang cocok dengan kondisi alam setempat.
Ritual padi
Sudah disinggung sebelumnya bahwa para petani daerah sini tidak membeli benih padi keluar desa tetapi menyiapkan benih padi sendiri. Mereka biasanya memilih bibit pada waktu padi mulai menguning, lalu dipisahkan dan disimpan di lumbung.
Secara ringkas digambarkan serangkaian kegiatan mulai dari proses pemilihan benih sampai akhir panen merupakan satu rangkaian kehidupan yang telah terjaling antara benih padi atau tumbuhan dengan kehidupan sosial petani, yangmana praktek itu telah menghasilkan simbol-simbol sosial, ritual dan kebudayaan pertanian.
Ritual-ritual untuk benih padi dan tumbuhan dilaksanakan secara rutin di Pura Muncak Sari, Pura Tamba Waras, dan Pura Batukaru mengikuti tanggalan setempat (kalender Bali). Misalnya, ritual atau odalan mica adalah salah satu ritual untuk benih padi guna memanjatkan permohonan kepada Sang Hyang Widi agar diberikan kesejahteraan dan berkah. Setelah ritual itu lalu benih padi dibagikan kepada anggota petani selanjutnya untuk ditanam.
Selanjutnya, pada waktu menguning siap dipanen ada ritual sendiri yang disebut “nyangket”, secara simbolik padi dipetik seikat gengaman tangan, karena padi itu adalah dewi maka secara simbolik dewinya dipindahkan dan disemayamkan di lumbung. Setelah selesai panen ada ritual lagi namanya “mantenin”.
Menurut cerita-cerita para tokoh desa biasanya ritual mica disertai dengan tari-tarian. Sayang tari-tarian tradisional itu sudah tak banyak dipahami oleh generasi sekarang, karena sehari-hari waktunya lebih banyak berkerja di kota-kota.
Tuntutan Zaman
Pengelolaan sawah membutuhkan kebersamaan tenaga dan waktu namun hal itu merupakan tantangan berat saat ini, perubahan sangat terasa pada permasalahan gotong-royong, kata Wayan Sukabuana.
Memang antara pikiran dan tenaga untuk menggarap satu hektare lahan sanggup sih sanggup tapi biayanya terlalu banyak. Persoalan pertama sekarang siapa yang mau membantu kita saat ini, tidak ada. Misalnya, mencari pupuk saja bingung, kemudian bajak sawah sekarang jarang pakai sapi lagi terpaksa diganti dengan traktor supaya bisa lekas selesai. Jika kita tidak pakai bantuan mesin traktor maka kita akan ketinggalan dan tidak bisa mengejar 7 hari masa tanam itu, karena tenaga kerja muda sudah semakin sulit yang tersisa adalah petani umurnya sudah 50 tahun ke atas.
Orang-orang tua dulu tidak pernah pakai tenaga buruh untuk angkut hasil panen ke rumah, kalau sekarang harus pakai sewa tenaga buruh.
Padi beras merah lokal mulai banyak dilirik petani setempat karena pengaruh permintaan pasar beras merah organik. Harga beras merah umumnya dijual Rp.18.000 per kilogram. Padahal hasil panen padi merah tersebut jarang yang dijual keluar kecuali ada kelebihan di lumbung. Jangan heran jika para petani menjual berasnya bahkan lumbungnya pun mereka jual, kata Wayan Sukabuana. ***