Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Menuju Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari Gunungkidul

Pengusahaan hutan rakyat lestari kian diminati dan berkembang pesat seiring dengan dibukanya kesempatan kepada masyarakat luas untuk mengambil peran utama dalam kegiatan menghutankan kembali di atas lahan miliknya. Pengusahaan hutan rakyat lestari tidak semata berorientasi pada keuntungan ekonomi belaka tapi di sisi lain menjaga dan mempertahankan keberlanjutan ekosistem hutannya. Gagasan pengelolaan hutan berkelanjutan (sustainable forest management) kian membumi dan dirasakan manfaatnya langsung oleh Kelompok Tani Hutan Rakyat Lestari (KTHR) di wilayah Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Jogyakarta.

Menurut Direktur Dipantara, Bambang Aji, potensi pengusahaan hutan rakyat lestari khusus Pulau Jawa luasnya mencapai 2,7 hektare sementara luas hutan negara 2,5 juta hektare. Namun kenyataan belum semua potensi hutan rakyat lestari itu tergarap secara optimal, saat ini Dipantara baru mampu membina sebanyak 100 Kelompok Tani Hutan Rakyat (KTHR) di wilayah Kabupaten Gunungkidul.

Luas hutan rayat lestari di Kabupaten Gunungkidul sendiri kurang lebih 25.000 hektar, dan kapasitas produksi kayu jati diperkirakan lebih dari 80.000 meter kubik per tahun. Pengelolaan hutan rakyat lestari sudah tentu tak bisa hanya mengandalkan petani secara individu belaka tetapi harus dikelola secara kolektif melalui organisasi tani atau kelompok tani. Untuk itulah perlu diperkuat personal KTHR supaya bisa tercapai target produksi hutan rakyat lestari di Gunungkidul.

Sehubungan dengan gagasan di atas KONPHALINDO bekerjasama dengan lembaga internasional – ICCO menyelenggarakan kegiatan Pelatihan untuk Pelatih (Training for Trainer, TOT) Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari dari tanggal 27 sampai 30 April, di Wisma Wanagama, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Yogyakarta. Tujuannya untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan pengurus KTHR sebagai pelatih pengelolaan hutan rakyat lestari, serta membangun jaringan kerja antar KTHR se Kabupaten Gunungkidul.

 Sistem Sertifikasi Hutan Berkelanjutan

Dalam prakteknya tidak semua KTHR bisa menyandang status pengelolaan hutan rakyat lestari atau pengelolaan hutan berkelanjutan (PHB). Untuk bisa diakui menjadi pengelolaan hutan rakyat lestari maka KTHR harus trampil menyusun rencana strategis pengelolaan hutan berkelanjutan, kemudian dinilai sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan oleh lembaga-lembaga standar pengelolaan hutan berkelanjutan internasional maupun nasional.

 Dipantara tercatat sebagai pemegang sertifikat FSC (Forest Stewardship Council) sejak 2012 sampai sekarang. Dipantara tidak mungkin bekerja sendiri dalam pengelolaan hutan lestari, kemudian bermitra dengan 20 KTHR FSC, di luar KTHR tersebut tercatat 19 KTHR  pemegang sertifikasi nasional SVLK (Sistem Verifikasi Legalistas Kayu), dan sisanya 61 KTHR dalam proses pembinaan menuju sertifikasi pengelolaan hutan lestari. Produk kayu jati berkelanjutan yang dihasilkan dari 20 KTHR adalah1.000 meter kubik per tahun.

Tantangan produksi kayu jati dari hutan rakyat lestari bisa dibilang masih jalan panjang karena belum tergarap secara optimal dari seluruh potensi hutan rakyat yang tersedia. Alasannya, sistem sertifikasi hutan rakyat lestari ini relatif baru diterapkan dan belum dikenal luas di kalangan petani hutan rakyat lestari.

Sementara itu, manfaat yang dirasakan langsung dari sertifikasi FSC ini adalah adanya kepastian akses ke pasar dengan harga beli produk kayu lestari lebih tinggi daripada harga produk kayu non-sertifikat FSC dipasaran, selain itu sertifikasi FSC peduli pada aspek kelestarian atau keberlanjutan lingkungan serta aspek sosial, demikian penjelasan yang disampaikan Hartono Prabowo, Perwakilan FSC Indonesia.

Sebagai contoh, Dipantara menetapkan harga beli produk kayu jati bulat yang dikelola secara lestari dari anggota KTHR untuk ukuran lingkar 30/39 Centimeter harganya berkisar dari Rp.4.500.000 sampai Rp.4.700.000 per kubik. Bandingkan, ukuran yang sama dengan produk kayu jati non-sertifikat hanya dihargai sekitar dua jutaan saja. Hal inilah yang membuat gairah para petani tertarik dan terlibat menanam pohon jati, serta menjalankan program pengelolaan hutan rakyat berkelanjutan di Kabupaten Gunungkidul.

 Memperkuat KTHR

Masalah yang dikeluhkan para pengelola KTHR binaan Dipantara terutama dalam hal membangun komunikasi dengan anggotanya guna meyakinkan gagasan tentang pengelolaan hutan rakyat berkelanjutan tersebut, yang mana jumlahnya rata-rata setiap KTHR lebih dari seratusan orang. Menurut Mardi, Ketua KTHR Ngudi Makmur mengaku masih banyak anggotanya yang belum mengerti tentang sistem pengelolaan hutan raykat lestari tersebut, tak heran jika para petani lebih senang menjual langsung hasil panen kayu bulat jati kepada pedagang lokal (tengkulak). Alasannya, mereka belum melihat bukti dan merasakan manfaat langsung dari sistem pengelolaan hutan rakyat lestari tersebut.

Tantangan berat peserta pelatihan KTHR adalah memperkenalkan dan memperluas informasi kepada anggota masing-masing dan sesama KTHR mengenai sistem pengelolaan hutan rakyat lestari. Sementara peran aktif anggota kelompok tani masih rendah, karena itu mereka perlu dilibatkan bersama-sama dalam penyusunan rencana usaha kelompok.

Selanjutnya, untuk mendalami masalah pengelolaan organisasi kelompok tani peserta pelatihan untuk pelatih didampingi oleh Jajang Agus Sonjaya. Peserta TOT mempelajari bagaimana seluk-beluk teknik komunikasi dan dinamika organisasi kelompok usaha tani. Menurut Jajang, para pengurus organisasi diberi bekal dan dilatih agar lebih sensitif terhadap kebutuhan anggotanya. Dengan demikian, mereka itu diharapkan bisa lebih terbuka dan jujur terhadap diri sendiri dan orang lain. Belajar berkomunikasi dengan orang lain, meningkatkan kesadaran diri, dan belajar bersama-sama memecahkan permasalahan kelompok dan lingkungan sekitar.

Secara bertahap pengelolaan hutan rakyat lestari beralih ke tangan kelompok tani, harapannya usaha kehutanan rakyat akan lebih bergairah dan mampu memberikan keuntungan ekonomi, pengakuan terhadap hak-hak petani, serta terjaganya kelestarian lingkungan. (Ruddy Gustave, peneliti KONPHALINDO, April 2014)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *