Lutfiyah Hanim – 15 Oct 2008
Sebuah laporan memperlihatkan bahwa ekonomi yang lebih hijau dapat mengatasi kemiskinan dengan menciptakan 10 juta lapangan kerja baru. Tetapi tidak melalui mekanisme “tangan ajaib” pasar bebas.
“Kami mengirim tanda positif bahwa produksi rendah karbon, efisien dalam penggunaan energi, dan teknologi dengan sedikit polusi akan menjadi pemenang dalam perkembangan ekonomi baru di masa depan,” kata,” Achim Steiner, Ketua Program PBB untuk Lingkungan (UNEP) dalam wawancaranya dengan kantor berita IPS (25/9).
Bersama dengan Organisasi Buruh Internasional PBB atau ILO (International Labour Organisation); Organisasi Para Majikan – IOE (International Organisation of Employer) dan Konfederasi Serikat Pekerja Internasional atau ITUC (International Trade Union Confederation), UNEP mengeluarkan laporan yang berjudul “Lapangan Kerja Hijau: Menuju Pekerjaan yang Layak dalam Dunia Rendah Karbon, Berkelanjutan atau Green Jobs: Towards Decent Work in a Sustainable, Low-Carbon World“.
Laporan tersebut memperlihatkan kemungkinan dampak dari perkembangan “Ekonomi Hijau” dalam dunia kerja. Menurut laporan tersebut bahwa investasi yang menghasilkan upaya baru dalam menurunkan perubahan iklim dan dampaknya akan menciptakan pekerjaan baru.
Di Jerman, misalnya, jumlah tenaga kerja dalam sektor energi yang terbarukan meningkat dari sekitar 66 ribu menjadi 259 ribu di tahun 2006.
Dalam waktu yang sama, sektor ini telah memiliki 2,3 pekerja di seluruh dunia, kebanyakan berasal dari negara-negara berkembang seperti China dan Brazil. Laporan tersebut memperkirakan bahwa lapangan kerja dalam sektor energi terbarukan akan menyerap lebih dari 20 juta orang di tahun 2003.
Sektor lain yang menjanjikan lapangan kerja yang ramah lingkungan di negara berkembang dan negara maju adalah daur ulang, transportasi publik, perbaikan efisiensi energi dan manajemen hutan yang berkelanjutan.
Di tahun 2030, diperkirakan volume pasar untuk produk barang dan jasa lingkungan mencapai 2,740 trilyun dolar per tahun dari sekitar 1,3 trilyun pada saat ini.
Tetapi laporan itu juga mengungkap sisi buruknya. Jumlah orang miskin yang bekerja dalam sektor yang ‘hijau’ dan dibayar dengan cukup memadai di negara berkembang masih jauh dari cukup.
Dengan jumlah 1,3 milyar pekerja atau 43 persen dari total pekerja di seluruh dunia, mendapatkan terlalu sedikit untuk mengangkat mereka dan keluarganya dari garis batas kemiskinan 2 dolar per hari per orang. Karena itu para ahli menyarankan untuk melakukan aksi cepat untuk mengatasi hal ini.
Langkah transisi ekonomi saat ini, “tidak cukup cepat” untuk mengatasi tantangan dari perubahan iklim dan untuk mengurangi pengangguran dan kemiksinan, demikian kata Steiner.
“Hal ini memerlukan peran pemerintah untuk mengambil tanggung jawab, untuk menginvestasi dan merencanakan,“ kata Guy Ryder, Sekretaris Jenderal ITUC. Pembangunan berkelanjutan memerlukan lebih dari kerjasama antara pemerintah, majikan, dan serikat pekerja.
Namun demikian, perubahan ekonomi akan menciptakan lapangan kerja baru, tetapi pada saat yang sama akan menciutkan jenis pekerjaan lainnya.
Karena itu ITUC menyerukan perlunya ada “transisi yang adil”. Itu berarti dalam proses transisi harus dibarengi dengan perlindungan untuk tenaga kerja yang diberhentikan dengan memberikan alternatif pekerjaan lain kepada mereka, seperti pelatihan baru dan investasi baru. Sehinga dapat meminimalkan dampak proses transisi, dari sekarang menuju kesempatan baru.
Berkurangnya sumber daya alam membuat banyak peluang bisnis baru bermunculan yang mungkin tidak terpikirkan di masa lalu. Seperti misalnya bisnis daur ulang barang yang bernilai jutaan dolar.
Sebuah perusahaan di Jerman misalnya telah mengumpulkan hampir setengah juta telepon genggam bekas pada tahun 2007. Ini meningkat sekitar 16 persen dari tahun sebelumnya, 2006. Bahkan diperkirakan akan ada 100 juta telepon genggam yang akan diganti setiap tahun di Eropa.
Tapi Direktur Jenderal ILO, Juan Somavia, menekankan bahwa lapangan kerja hijau tidaklah layak secara definisi. Terutama di bidang industri seperti pengelolaan sampah, banyak pekerjaan kotor, berbahaya dan sulit.
Di Indonesia tentu kita tidak lupa dengan kejadian longsornya sampah di beberapa tempat pembuangan sampah di Jakarta dan Bandung. Korbannya adalah para pemulung, dan keluarganya yang tinggal di sekitar pembuangan sampah.
Mungkin yang paling buruk adalah longsornya tumpukan sampah di TPA (tempat pembuangan sampah akhir) Leuwigajah Cimahi, Bandung, Jawa Barat pada 21 Februari 2005. Sumber Wikipedia menyebutkan, tragedi tersebut menelan korban jiwa sekitar 100 orang tewas. Dua pekan berikutnya, Tempat Pembuangan Sementara (TPS) sampah di Kampung Ampera, Lembang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 3 Maret 2005 dini hari, longsor dan menimpa empat rumah yang ada di bawahnya. Situs Liputan Enam menyebutkan, dua orang tewas tertimbun sampah.
Kejadian serupa juga terjadi TPA Bantar Gebang, Bekasi, yang menampung sampah-sampah propinsi DKI Jakarta. Rilis Pers oleh Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jakarta, mengatakan kejadian pada 8 September 2006 tersebut memakan tiga korban jiwa (satu orang di antaranya adalah ibu hamil) dan empat orang dirawat di rumah sakit akibat tertimbun longsoran sampah yang melebihi kapasitas.