Amrullah Amsar – 13 Nov 2007
Sekitar 200-an masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Tani Massompungloloe, Desa Sidenreng, Kecamatan Watangsidenreng, Kabupaten Sidrap, Sulsel, menguasai tanah Ex HGU PT. Sanusi dan PT. Sapco yang ditinggal terlantar sejak tahun 1990. Kedua perusahaan tersebut meninggalkan lokasi yang akhirnya menjadi lahan tidur lantaran kontrak karyanya telah berakhir dan juga menderita kalah di Pengadilan Negeri Sidrap oleh Kelompok Tani Massompungloloe yang dimotori oleh Muhammadong dan teman-teman.
Namun tindakan menguasai tanah Ex HGU tersebut oleh pemerintah setempat dinilai sebagai tindakan melawan hukum. Akibatnya pada bulan Maret 2007, bupati melaporkan Muhammadong dan teman-teman ke Polres Sidrap dengan tuduhan penyerobotan lahan. Muhammdong pun saat itu dipanggil untuk dimintai keterangan di depan penyidik Polres Sidrap yang kala itu Kasat Reskrim AKP Ade Noho yang bertindak sebagai penyidik. Sesaat setelah pemeriksaan berjalan, akhirnya pihak kepolisian Resort Sidrap memutuskan untuk memasang police line di Sekretariat Kelompok Tani Massompungloloe tersebut.
Para petani tidak menerima baik tindakan polisi tersebut. Untuk itu petani melakukan perlawanan. Tak pelak kontak fisik hari itu tidak dapat dihindari. Untungnya jumlah aparat lebih kecil dari jumlah petani, sehingga aparat sempat mengalah dan kembali ke markasnya di Pangkajene Sidrap.
Namun pada 19 September 2007, sekitar pukul 11.00 WITA, pihak PT. Semesta Margareksa melakukan penataan tapal batas terhadap lahan-lahan Ex HGU PT. Sanusi dan PT. SAPCO di Desa Bendoro, Kec. Watangsidenreng yang dianggap telah dibebaskan pihaknya. Masyarakat tani yang menguasai sebagian lahan tersebut pun melakukan perlawanan. Mereka menilai bahwa penataan tapal batas yang dilakukan perusahaan tersebut melampaui batas-batas yang dikuasai oleh kelompok tani. Sehingga kelompok tani menilai hak-haknya telah diserobot.
Dengan demikian pada hari itu terjadi ketegangan, dimana pihak kelompok tani yang mempertahankan batas-batas lahannya berhadap-hadapan dengan aparat keamanan perusahaan yang dibantu oleh Satpol PP dan aparat kepolisian dari jajaran Polres Sidrap. Anehnya aparat kepolisian pada peristiwa itu tidak menempatkan posisinya sebagai pihak keamanan yang harus berdiri netral, melainkan sebagian besar di antara mereka membela perusahaan, sehingga perkelahian antar masyarakat dan petugas hampir tidak dapat dihindari.
Bahkan Kepala Kepolisian Resort Marintengngae, AKP Feri Parenrengi mencabut pistolnya dan mengancam akan menembak jika masyarakat tidak mau mengalah untuk membiarkan perusahaan membuldoser lahan masyarakat yang dikuasai sejak tahun 1998 tersebut. Pada peristiwa itu jumlah masyarakat lebih besar dibandingkan dengan jumlah personil aparat kepolisian, akibatnya pihak masyarakat menguasai lapangan dan penentuan tapal batas gagal dilakukan pada hari itu.
Dalam peristiwa 19 September 2007 tersebut, polisi menganggapnya sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang tergabung dalam masyarakat yang menguasai lahan Ex PT. Sanusi dan PT. Sapco tersebut.
Akibatnya pada 25 September 2007, pihak Polres Sidrap melalui Kasat Reskrim mengeluarkan surat perintah penangkapan kepada Muhammadong selaku Sekretris Kelompok Tani Massompungloloe dan H. Dahing sebagai salah satu anggota kelompok tani yang dinilai melakukan ancaman pada peristiwa 19 September 2007. Namun yang sangat disesalkan dalam peristiwa penangkapan tersebut yang bersangkutan langsung dijemput paksa tanpa melewati tahapan yang selayaknya yakni tidak ada surat panggilan polisi pertama maupun surat panggilan polisi kedua, melainkan langsung perintah penangkapan dan terjadi pada malam hari.
Berita Terkait:
Bupati Sidrap diduga korupsi lahan
Tindak kekerasan dalam pelepasan tanah tidak dapat dihindari