Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Konferensi Kelautan Dunia Berlangsung Saat Kelautan Sulut Alami Kemunduran

Ani Purwati – 12 May 2009

Sulawesi Utara (Sulut) sebagai wilayah dengan karunia sumberdaya laut yang besar, meliputi sebagian besar keanekaragaman terumbu karang dunia, saat ini sedang mengalami kemunduran. Demikian ungkap Sinyo Harry Sarundajang, Gubernur Sulawesi Utara saat pembukaan Konferensi Kelautan Dunia di Manado, Sulawesi Utara, Senin (11/5).

Menurutnya ada tantangan di samping peluang dalam pengelolaan sumberdaya kelautan di provinsinya. Dengan keselarasan antara bermacam budaya dan suku bangsa.

Saat yang sama, Freddy Numberi, Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia, menggambarkan dampak perubahan iklim pada lingkungan kelautan. Dia meminta para pejabat pembuat kebijakan dunia untuk mengembangkan kebijakan yang berwawasan lingkungan dan mengintegrasikan pengelolaan kawasan pantai dalam mendukung pemanfaatan sumberdaya laut yang berkelanjutan.

Dia juga meminta adanya peningkatan penelitian tentang dampak perubahan iklim pada lingkungan kelautan, kajian adaptasi yang diperlukan masyarakat pesisir, dan sumber pendanaan bagi pelaksanaan rencana aksi. Dia menekankan potensi Coral Triangle Initiative (CTI) untuk membangun politik yang kuat di antara negara-negara dalam kawasan ini.

Sementara itu, di luar Konferensi Kelautan Dunia telah terjadi penangkapan terhadap beberapa aktivis dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Berry Nahdian F dan Erwin Usman. Mereka melakukan aksi dalam Konggres Nelayan Nasiona di Kolongan Becah Hotel Manado bersama nelayan se-Asia Tenggara untuk menyampaikan aspirasi masyarakat nelayan yang merasa belum masuk pembahasan konferensi.

 

Senior Officials Meeting

 Pada Senin (11/5) juga berlangsung Senior Officials Meeting dari pagi sampai sore. Saat sesi observasi dan analisis kelautan, Richard Spinrad dari Lembaga Administrasi Atmosfir dan Kelautan Nasional (National Oceanic and Atmospheric Administration – NOAA) Amerika Serikat, meminta komitmen kolaborasi ilmiah untuk mengkaji, memprediksi, mencegah (mitigasi) dan adaptasi terhadap dampak iklim dan perubahan kelautan.

Dia mengakui temuan dari  Panel Internasional Perubahan iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change – IPCC) bahwa bumi sedang panas dan membutuhkan perhatian lebih, termasuk temuan NOAA bahwa indikasi karbon dioksida atmosfir meningkat di atas 600 ppm, mengakibatkan meningkatnya permukaan air laut. Dia juga menyoroti perubahan ruang dan temporal migrasi spesies laut dalam kawasan lindung laut di Amerika Serikat dan menghimbau negara-negara untuk berkontribusi pada inisiatif Amerika Serikat untuk menetapkan sistem monitoring global.

Gabriele Goettsche-Wanli, Divisi PBB untuk Kelautan dan Hukum Laut, mempresentasikan aturan sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam mengkoordinasi kegiatan badan perubahan iklim, termasuk pintu gerbang sistem kerja PBB tentang inisiatif perubahan iklim. Dia menekankan pentingnya Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UN Convention on the Law of the Sea – UNCLOS) sebagai kerangka legal peraturan kegiatan laut dan menjelaskan aturan dasar kelautan untuk mengatur sistem iklim. Dia mencatat kecepatan peningkatan emisi karbon dioksida beberapa tahun sebelumnya, telah menimbulkan dampak seperti peningkatan suhu permukaan laut, perubahan ekosistem laut, termasuk pengurangan keanekaragaman hayati dan produksi, pencairan es di kutub, peningkatan permukaan air laut dan pemutihan karang. Dia juga menekankan adanya dampak peningkatan permukaan air laut pada masyarakat nelayan dan pesisir khususnya negara-negara pulau kecil.

Dalam sesi dampak perubahan iklim pada masyarakat pesisir, Moses Murihungirire, Menteri Perikanan dan Pengelolaan Sumberdaya Namibia membahas dinamika komponen biotik dan abiotik Sistem Benguela Utara. Dia menekankan pentingnya memahami proses, dimana Namibia sebagai negara pesisir dengan pengembangan lahan basah yang luas. Dia mengatakan bahwa studi telah merekam pergeseran musim dalam sistem pola angin, keanehan anomali suhu permukaan laut, penurunan stock ikan dan perkembangan alga yang melimbah (algal blooms) dalam 20 tahun terakhir ini.

Gabriella Bianchi dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (Food and Agriculture Organization of the UN – FAO) mempresentasikan implikasi perubahan iklim bagi perikanan dan tambak. Dia mencatat cepatnya perkembangan sektor tambak, khususnya di kawasan Asia Pasifik, dan menekankan bahwa ikan merupakan salah satu komoditas perdagangan terbesar di dunia. Dia membahas implikasi fisika perubahan iklim bagi perikanan termasuk pengurangan ketersediaan nutrisi, peningkatan keasaman laut, dan peningkatan produksi primer di garis lintang yang lebih tinggi.

Dia meminta pengembangan strategi untuk mengurangi kerentanan masyarakat pesisir terhadap dampak perubahan iklim dan mengatakan bahwa adaptasi membutuhkan pendekatan lintas sektor dan kerangka pelaksanaan, hukum dan kebijakan yang cukup. Dia juga menekankan bahwa pemerintah kelautan global perlu memperkuat dan mengutamakan keuntungan pendekatan berdasarkan ekosistem bagi pengelolaan perikanan.

Masnellyati Hilman, Deputi Sumberdaya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia dalam sesi persiapan dan peningkatan kemampuan masyarakat pesisir untuk adaptasi perubahan iklim, mempresentasikan persiapan Indonesia dalam menghadapi risiko perubahan iklim. Dia menyampaikan beberapa indikasi statistik peningkatan risiko dan kosekuensi terkait, seperti hilangnya 24 pulau antara tahun 2005 dan 2007, peningkatan 14 fold biaya ekonomi risiko sejak 1950, peningkatan 50% kematian dalam waktu yang sama.

Dia mengakui sistem informasi global dan kerangka kajian risiko sebagai alat kajian risiko yang bermanfaat menginformasikan kebijakan. Hilman menekankan bahwa walaupun proyek skala lokal lebih mahal, namun menyediakan data dengan ketelitian dan akurasi yang besar. Dia menyambut hasil penelitian hingga saat ini, tetapi berharap bahwa tambahan dana yang akan datang dapat mendukung inisiatif pemerintah lokal untuk memenuhi program adaptasi pemerintah pusat.

Untuk mitigasi perubahan iklim dia menyampaikan program Indonesia untuk mempromosikan laut yang sehat seperti perlindungan kawasan dari sumber polusi, pelibatan masyarakat dalam perlindungan mangrove dan CTI. Dia juga menggarisbawahi pentingnya integrasi adaptasi dengan pemberantasan kemiskinan. Tentang pendidikan, dia menekankan insiatif Indonesia menyediakan informasi tentang adaptasi pada pemerintah lokal, masyarakat dan sekolah.

Jacqueline Alder, Koordinator Badan Lingkungan Peisisir dan Kelautan UN Environment Programme (UNEP) mempresentasikan kerja UNEP tentang proyek adaptasi dan perubahan iklim. Dia menyampaikan strategi UNEP pada perubahan iklim seperti proyek mitigasi untuk mempromosikan kelompok masyarakat rendah karbon, komunikasi dan perhatian publik, penguatan pemahaman ilmiah perubahan iklim, dan proyek adaptasi termasuk peningkatan kapasitas negara berkembang.

Dia juga menyampaikan mandat UNEP tentang perubahan iklim dan laut, khususnya melalui Program Laut Regional dan Rencana Aksi Global Perlindungan Lingkungan Laut dari Aktivitas. Dia mencatat pentingnya mengembangkan ekosistem laut yang kuat dan jaringan sosial melalui pelaksanaan pengelolaan ekosistem untuk mitigasi dampak perubahan iklim.

Untuk adaptasi perubahan iklim dia menekankan proyek UNEP seperti identifikasi zona peningkatan permukaan air laut kawasan penyangga, dan pengembangan rencana adaptasi kelautan spasial. Dia juga menyampaikan pentingnya penggerakan dan pengelolaan pengetahuan untuk kebijakan adaptasi dan perencanaan melalui perencanaan berbasis pengetahuan, pengelolaan berbasis adaptasi dan pengembangan teknologi untuk adaptasi.

Sumber: www.iisd.ca

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *