Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Kebijakan ADB Berperan Ciptakan dan Perparah Krisis Pangan Global

Ani Purwati – 05 May 2009 

Kebijakan ADB berperan dalam menciptakan dan memperparah krisis pangan global. Proyek utang Asian Development Bank (ADB) telah mempengaruhi banyak aspek kehidupan rakyat Asia, khususnya pangan dan pertanian.

Menurut siaran pers People’s Movement Against ADB yang diterima beritabumi.or.id (3/5), tahun 2000 ADB meluncurkan program Regional Technical Assistance for Land Project untuk enam negara berkembang anggota ADB, termasuk Indonesia. Tahun 2002, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Indonesia menindaklanjuti bantuan teknis ADB ini dengan mengajukan proposal bantuan teknis untuk penyusunan Rancangan Undang-undang Pertanahan.

Proyek ini dipersiapkan dalam kerangka kerja LMPDP (Land Management and Policy Development Project) yang diinisiasi oleh Bank Dunia sejak tahun 2005. Jelas sekali bahwa proyek ADB di bidang pertanahan ini searah dengan LMPDP yang bertujuan mendorong percepatan pasar tanah, untuk menciptakan pasar tanah yang efisien dan untuk meningkatkan jaminan bagi investasi luar negeri.

Dalam siaran pers itu, Agung Wardana sebagai Koordinator Media People’s Movement Against ADB menyatakan, peningkatan investasi luar negeri menyebabkan berkurangnya jumlah lahan pertanian karena banyak yang beralih fungsi menjadi areal industri dan menyebabkan penurunan hasil pertanian, dan memperparah krisis pangan yang saat ini sedang berlangsung.

 

Pasar tanah ala lembaga keuangan internasional seperti ADB ini jelas merupakan grand design, karena sejalan dengan pembangunan infrastruktur jalan. Pembangunan proyek trans Jawa dan trans Kalimantan, yang tengah berlangsung di Indonesia, akan mengakselerasi konversi lahan. Tak pelak, kemudahan jual-beli tanah yang menjadi tujuan program ADB akan bersanding dengan munculnya jalan. Akibatnya akan banyak tanah-tanah pertanian dan industri kecil di sekitar jalan raya yang akan beralih fungsi. Riset terakhir memperkirakan di Jawa saja akan terjadi konversi lebih dari 2 juta hektar mulai dari Banten hingga Surabaya, jika kedua model ini bersanding.

Pada sisi lain, kebutuhan yang tinggi akan kebutuhan energi mendorong tingginya produksi tanaman industri guna agrofuel, parahnya lagi hal tersebut dimudahkan dengan pola pasar tanah ala lembaga keuangan jelas-jelas mempermudah perampasan hak atas kaum tani. Asia menjadi sasaran yang paling jelas untuk memenuhi kebutuhan negara industri terhadap tanah dan tenaga kerja murah guna pemenuhan produksi agrofuel, akibatnya jutaan lahan pangan tergusur dan jutaan petani kehilangan tanahnya serta melahirkan banyak konflik.

Proses ekonomi keruk ini juga berlangsung pada sektor lain, seperti perikanan dan kelautan. Sekitar 5 juta hektar laut Indonesia kini tidak lagi di dalam manajemen nelayan tradisional kita. Pertambakan tradisional telah distimulasi menjadi industri pertambakan udang yang melayani 90 persen kebutuhan pasar global. Hasilnya, hutan mangrove telah menyusut sebanyak 2,3 juta hektar dalam 12 tahun belakangan. Proyek ADB dalam sektor energi dan pertambangan juga kurang lebih sama. 511 penduduk di Tanah Merah terusir dari ladang garapan gas Tangguh, yang juga didanai oleh ADB.

Jutaan hektar lahan yang disebutkan di atas berpotensi memperparah konflik agraria di Indonesia. Ini masalah klasik yang menyebabkan rakyat terutama petani, nelayan, masyarakat adat, terutama perempuan, kehilangan akses terhadap lahan garapan. Di tengah kepemilikan lahan yang rata-rata saat ini hanya 0.5 hektar untuk produksi pangan dan pertanian, fakta ini akan memperparah produktivitas pangan di masa yang akan datang serta berimplikasi buruk terhadap kedaulatan pangan rakyat.

Menurut People’s Movement Against ADB, hal itu jelas-jelas menghancurkan alternatif rakyat di tingkat lokal dan nasional, karena menurut UUD 1945 pasal 33, ekonomi yang berlangsung di negeri ini haruslah ekonomi kerakyatan dan bangun yang paling sesuai dengan ekonomi kerakyatan ini adalah koperasi.

Lebih lanjut, pendekatan berbasis hak (atas kekayaan alam, atas pangan, tanah, air, benih) harus merupakan koreksi total dari pendekatan ADB yang neoliberal, yang hanya memfasilitasi keuntungan segelintir orang dan perusahaan transnasional dari Jepang, Singapura dan Amerika Serikat. Paradigma neoliberal harus diubah, sembari membentuk arsitektur keuangan baru di tingkat regional. Khusus di sektor pangan dan pertanian, pelaksanaan reforma agraria dan kedaulatan pangan di dalam kebijakan pemerintahan yang tersistematis akan menjadi solusi pamungkas terhadap krisis pangan dan konflik agraria.

Untuk menyampaikan aspirasi sebagai hasil pertemuan dalam beberapa hari sebelumnya yang disebut Deklarasi Bali, sekitar 300 orang Asian People’s Action Against ADB yang berasal dari seluruh Asia melakukan marching lengkap dengan bendera, atribut kampanye warna-warni, berjalan sambil meneriakkan yel-yel dari Kuburan dan Krematorium Mumbul menuju Nusa Dua, Senin (4/5).

Sementara itu pada pagi harinya, sekitar 50 orang anak muda Denpasar yang diorganisir oleh WALHI Bali dan PBHI Bali mengendarai sepeda berkeliling Kota Denpasar. Rally ini dihiasi dengan bendera, banner kampanye dan partisipan membagikan poster dan sticker kepada masyarakat untuk mengkampanyekan sikap penolakan terhadap ADB.

Berita Terkait:

http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&newsID=B0149&ikey=1

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *