Setyo Rahardjo – 13 Nov 2007
Kontribusi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di tingkat internasional, terutama yang berkaitan dengan siaga bencana makin meningkat dan meluas. Hal ini dimulai sejak terjadinya gempa dan tsunami dahsyat di Aceh dan Samudera Hindia pada tanggal 26 Desember 2004. Demikian dikatakan oleh Kepala LIPI, Prof. Dr. Umar Anggara Jenie, dalam sambutannya ketika membuka “Seminar Internasional dan Workshop Nasional Pendidikan Kesiapsiagaan Masyarakat Menghadapi Bencana” yang diselenggarakan oleh LIPI di Hotel Bidakara Jakarta pada Rabu (5/9). Seminar itu sendiri berlangsung dari tanggal 5-7 September 2007. Menurutnya, peningkatan kontribusi LIPI berawal dari partisipasi sebagai active member dalam penyusunan National Position dalam Tsunami Summit pada tanggal 6 Januari 2005, diikuti dengan berbagai konferensi internasional serta seluruh pertemuan yang dikoordinasi oleh PBB melalui International Governmental Oceanographic Commission – UNESCO. Ia juga mengungkapkan bahwa LIPI juga turut andil dalam rencana besar pemerintah yang akan meluncurkan beroperasinya sistem peringatan dini tsunami Indonesia sebagai bagian dari sistem peringatan dini di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik pada tahun 2008. “Kontribusi LIPI adalah memberikan dukungan ilmiah dalam sistem tersebut yang kini telah menjadi fokus dan mandat pemerintah dalam pendidikan publik dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana, khususnya gempa bumi dan tsunami,” katanya. Sedangkan Kepala BAPPENAS, H. Paskah Suzzeta, yang menjadi keynote speaker dalam acara tersebut menyatakan bahwa sejak Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2006, penanganan bencana telah menjadi salah satu prioritas pembangunan. Menurutnya, upaya kita ditekankan untuk semakin bergeser kepada upaya untuk mengurangi risiko. Kalau pada RKP 2006, fokus kita pada upaya rehabilitasi bencana bumi dan tsunami di Nangroe Aceh Darussalam dan Nias serta bencana gempa di Yogyakarta, maka pada RKP 2007 sudah mulai bergeser kepada pembangunan sistem mitigasinya. “Pada RKP 2008 upaya ini terus dilanjutkan dan tetap menjadi salah satu prioritas pembangunan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah telah dengan sungguh-sungguh membangun sistem kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana,” kata Suzzeta.
Kesiapan hadapi bencana Pada hari kedua (6/9), Peneliti Puslit Kependudukan LIPI, Dr. Deny Hidayati menjelaska hasil penelitian tentang kesiapan masyarakat menghadapi bencana di lima kota (Serang, Cilacap, Aceh, Bengkulu, dan Padang Pariaman. Menurutnya, dari lima daerah yang diteliti, masing-masing wilayah mempunyai potensi yang bisa dikembangkan. Untuk di Padang Pariaman, misalnya kekuatan itu ada di lapisan sekolah, sedangkan di Cilacap adanya dukungan kesiapsiagaan dari pemerintah. Sementara untuk di Serang, potensi yang bisa dikembangkan ada di komunitas rumah tangga. Selama kurang lebih dua tahun melakukan kajian tentang masyarakat dan bencana, pihaknya menemukan kondisi lain di dalam masyarakat. Kondisi itu di antaranya adalah sebagian besar di tingkat kecamatan belum ada kebijakan, panduan, dana, dan personil yang siap untuk mengantisipasi bencana, demikian juga di tingkat sekolah. “Untuk di sekolah-sekolah, sebenarnya guru dan murid sudah cukup memiliki kesiapsiagaan menghadapi bencana yang baik, namun ternyata pihak sekolah belum mempunyai kebijakan, mobilitas, pedoman, dana, dan kurikulum yang baku tentang kebencanan,” ujarnya. Dalam penelitian itu, tim yang dipimpinnya dengan anggota sekitar 20 orang itu memakai metode survei dengan 400 responden pada masing-masing lokasi yang terdiri dari 200 rumah tangga, 180 komunitas sekolah (150 murid dan 30 guru), serta 20 aparat pemerintah. Tim juga menetapkan lima parameter yang sangat berpengaruh untuk mengukur kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana, yaitu ilmu pengetahuan, kebijakan, rencana tanggap darurat, mobilisasi sumber daya, dan logistik. Ia juga menjelaskan bahwa kajian penelitian sosial ekonomi yang dilakukan LIPI tidak hanya fokus pada penelitian kerentanan fisik, namun juga kerentanan masyarakatnya. Pada aspek kependudukan, misalnya, sebuah rumah tangga akan masuk dalam kategori rentan apabila dalam sebuah keluarga terdapat anggota yang berusia balita (1-4 tahun) dan lansia (65 tahun ke atas). “Untuk itu perlu dikembangkan potensi positif masyarakat yaitu kebiasaan tolong menolong dan keaktifan masyarakat dalam mengikuti kegiatan sosial. Hal positif ini dapat dijadikan sebagai modal untuk meminimalkan tingkat kerentanan sosial suatu masyarakat,” tegasnya.