Ani Purwati – 01 Dec 2010
Saat pembukaan Kelompok Kerja Protokol Kyoto, Jepang mengejutkan peserta konferensi iklim di Cancun dengan menekankan tidak akan pernah menerima periode komitmen kedua dari Protokol Kyoto dan juga tidak pernah setuju untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai target Protokol Kyoto.
Demikian menurut Lim Li Lin dari Third World Network (TWN) dalam laporannya langsung dari Cancun (30/11) (http://www.twnside.org.sg/title2/climate/news/cancun01/cancun.news.05.pdf).
Lim Li Lin menyebutkan bahwa beberapa delegasi dan pengamat merasa penolakan ini adalah momen penting seperti membunyikan sebuah lonceng kematian dari Protokol dengan nama sebuah kota di Jepang dimana perundingan yang mengeluarkannya pernah berlangsung.
Kelompok kerja telah membahas komitmen lebih lanjut dari Annex I anggota Protokol Kyoto untuk komitmen pengurangan emisi period kedua yang dijadwalkan akan dimulai pada tahun 2013 setelah periode pertama ini berakhir pada akhir 2012. Negara-negara berkembang menganggap kemajuan dalam kelompok ini menjadi ujian komitmen mitigasi negara-negara maju, dan kondisi keberhasilan dalam perundingan Cancun.
Kelompok Kerja Ad hoc Komitmen Selanjutnya untuk Annex I di bawah Protokol Kyoto (Ad hoc Working Group on Further Commitments for Annex I Parties under the Kyoto Protocol – AWG-KP) membuka sesi kelima belas pada Senin, saat konferensi perubahan iklim PBB di Cancun, Meksiko dari 29 November – 10 Desember. Mandat hukum kelompok kerja adalah untuk menentukan komitmen pengurangan emisi Annex I (negara maju) untuk periode komitmen kedua setelah tahun 2012, ketika periode komitmen pertama berakhir.
Jepang mengatakan bahwa perubahan iklim merupakan isu global yang memerlukan solusi global. Ia mengakui peran historis dari Protokol Kyoto, tetapi mengatakan bahwa situasi berubah dengan cepat, dan bahwa pengaturan emisi pada sebagian kecil dari emisi global tidak pernah bisa efektif. Seluruh jaminan di dalam Copenhagen Accord mencakup 85% dari emisi global, dan inilah yang menjadi inti keberatannya.
Jepang meminta instrumen baru yang mengikat secara hukum tunggal semua emiten utama berdasarkan Copenhagen Accord. Di Cancun, katanya harus ada paket seimbang keputusan COP [Konferensi Para Pihak Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim – (Conference of the Parties to the UN Framework Convention on Climate Change – UNFCCC)], memperhatikan keseimbangan dalam Copenhagen Accord, dan menandai tonggak kemajuan dalam Kelompok Kerja Ad hoc Aksi Kerjasama Jangka Panjang di bawah Konvensi (Ad hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention – AWG-LCA). Dikatakan bahwa angka penurunan emisi hanya dapat diatasi dalam AWG-LCA (dimana perundingan untuk pelaksanaan UNFCCC yang disempurnakan sedang berlangsung).
(Copenhagen Accord yang kontroversial adalah “catatan yang diambil” oleh COP pada tahun 2009 setelah ditolak oleh sejumlah negara berkembang.)
Jepang mengatakan bahwa target 2020 adalah di bawah Copenhagen Accord, dan bahwa hal itu tidak akan mencantumkan target dalam Protokol Kyoto dalam keadaan apapun, atau di bawah kondisi apa pun. Dikatakan bahwa dia tidak akan pernah menerima putusan apapun dari CMP (Meeting of the Parties to the Kyoto Protocol – Pertemuan Para Pihak untuk Protokol Kyoto) yang menyiratkan periode komitmen kedua atau perpanjangan sementara periode komitmen pertama sebagai hasil pra legal.
Dikatakan bahwa Jepang mendukung pembentukan “dana hijau Copenhagen”, asalkan ada kemajuan dalam diskusi di MRV (measuring, reporting and verification – pengukuran, pelaporan dan verifikasi) dan mitigasi oleh negara-negara berkembang.
Kontras dengan pernyataan Jepang, negara-negara berkembang dengan suara bulat menyerukan periode komitmen kedua bagi penurunan emisi Annex I di bawah Protokol Kyoto, bersikeras bahwa ini adalah kewajiban yang mengikat secara hukum, dan harus diadopsi di Cancun.
Di antara negara-negara maju lainnya, Norwegia menyatakan dukungan bagi periode komitmen kedua Protokol Kyoto, dan Uni Eropa mengatakan bersedia untuk mempertimbangkan memiliki periode kedua.
Menurut Lim Li Lin, Ketua AWG-KP, Duta Besar John Ashe dari Antigua dan Barbuda, telah menerbitkan skenario catatan sebelum dimulainya sesi yang menunjukkan bahwa ia akan membuat proposal “pada semua aspek kerja AWG-KP dalam bentuk keputusan rancangan, yang ditujukan secara substansial memajukan kerja kelompok”. Dia juga mengusulkan untuk membentuk contact group tunggal yang mencakup semua aspek kerja AWG-KP.
Tipis Harapan Kesepakatan
Sementara itu dalam pernyataan rilisnya (1/12), Berry Nahdian Forqan, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai bahwa pernyataan Jepang yang secara terang-terangan menyampaikan menentang perpanjangan pelaksanaan KP pasca 2012 di dalam perundingan COP 16 serta siap menerima konsekuensi jika harus dikucilkan di PBB, dapat berpengaruh terhadap sikap negara lainnya seperti Australia, New Zealand dan Canada yang juga enggan mendukung keberlanjutan Protokol Kyoto pasca 2012.
Kondisi ini menurut Berry menunjukkan tipisnya harapan akan adanya sebuah kesepakatan yang mengikat secara hukum (legally binding) dan solusi yang lebih adil bisa terwujud. Sementara berbagai agenda yang dibawa oleh sebagian besar para delegasi konferensi masih menempatkan urusan penyelamatan bumi dengan untung rugi yang didapatkan oleh masing-masing pihak. Di sini sangat terlihat ego kepentingan masing-masing negara lebih menonjol ketimbang kepentingan bersama.
Menyikapi kondisi ini, Pemerintah Republik Indonesia semestinya mempunyai posisi yang tegas dan membawa kepentingan rakyat Indonesia dan dunia dengan mendesak Eropa, US dan Jepang untuk segera melakukan proses legislasi nasional di negara mereka masing-masing yang menjabarkan tentang target yang mengikat (binding target) untuk reduksi emisi tahunan tanpa mekanisme offset.
Indoensia juga harus mendesakkan kesepakatan yang tidak “mewajibkan” negara berkembang termasuk Indonesia untuk menurunkan emisinya pada periode kedua Kyoto Protokol karena yang harus didorong adalah tanggung jawab konkret Negara Annex 1. Dalam hal ini Indonesia sebaiknya mengembalikan perundingan ke dalam dua track perundingan yang sudah ada yaitu AWG KP dan AWG LCA serta harus meninggalkan Copenhagen Accord. Lalu mendesak negara-negara Annex 1 ditambah Amerika Serikat (AS) untuk menurunkan emisi domestik mereka secara radikal sedikitnya 40% sampai tahun 2020 tanpa melalui skema offset.
Berita Terkait:
http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&newsID=B0350&ikey=1
http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&newsID=B0349&ikey=1