Tidak ada keterangan resmi dari pihak pengelola TPA Cipeucang, timbulan sampah yang longsor masuk ke dalam badan Sungai Cisadane diperkirakan antara 50 sampai 100 ton. Sementara pihak Pemerintah Daerah Tangerang Selatan, diwakili Yepi Suherman, Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Tangeran Selatan menjelaskan, bahwa TPA Cipeucang statusnya sudah melebihi kapasitas penampungan sehingga sampah menggunung setinggi lima meter, kemudian ditambah lagi hujan keras beberapa hari lalu menyebabkan turap penyangga tak mampu menahan beban sampah sebanyak itu.
Tidak banyak orang yang mengingat peristiwa longsor timbulan sampah pada 22 Mei di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Cipeucang, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Akibat peristiwa itu sebagian timbulan sampah yang longsor itu masuk ke Sungai Cisadane. Menurut laporan berbagai sumber media online menyebutkan bahwa, penyebab timbulan sampah longsor diperkirakan turap penyangga (sheet pile) yang menopang tumpukan sampah tak mampu menahan beban yang berlebihan dan akhirnya jebol.
Peristiwa longsornya timbulan sampah yang menimpa TPA Cipeucang bukanlah semata-mata persoalan teknis kontruksi penyangga TPA saja namun dibalik itu ada setumpuk persoalan yang yang tak nampak dipermukaan, dan hal itu mencerminkan betapa buruknya tata kelola persampahan berwawasan lingkungan atau 3R (reuse, reduce, recycle) di wilayah itu bahkan di seluruh Indonesia. Meskipun sebagian TPA disebutkan telah diganti dengan pendekatan sanitasi landfill namun kenyataannya sampai saat ini masih ada sejumlah TPA yang masih menggunakan pendekatan lama yakni open dumping. Menurut Direktorat Pengelola Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menggunakan data tahun 2014 menyebutkan, 55 persen TPA seluruh Indonesia masih di kelola dengan pendekatan open dumping. Padahal model TPA open dumping sudah diperintahkan ditutup semuanya sejak diberlakukannya Undang-undang No.18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Pertimbangan ditutupnya semua model TPA open dumping dan diganti dengan model TPA sanitary landfill, tak lain karena pertimbangan aspek keselamatan lingkungan hidup dan aspek kesehatan masyarakat. Sebelumnya, pengelolaan sampah cenderung hanya berurusan masalah teknis terkait “kumpul – angkut – buang”, istilahnya yang penting bersih (clean first), atau “not in my backyard (NIMBY)”.
Siap Tidak Siap Yang Penting 3R
Bagaimanapun, persoalan pengelolaan sampah begitu kompleks, menyangkut berbagai isu dan tidak berdiri sendiri, antara lain persoalan perubahan pola produksi dan konsumsi, pertumbuhan populasi, dan perubahan gaya hidup. Yang mana persoalan yang disebutkan itu membawa konsekuensi logis terhadap peningkatan volume timbulan sampah, keragaman karekteristik sampah, dan dampak pencemaran timbulan sampah. Maka, cara pandang baru dalam pengelolaan persampahan menekankan pada prinsip lingkungan berkelanjutan, yaitu pendekatan konsep reduce (pembatasan), reuse (guna ulang), dan recycle (daur ulang) atau disingkat istilahnya 3R. Selain itu sampah harus dilihat bukan sebagai barang buangan yang menjijikan (sampah terselektif) melainkan sumber daya yang mempunyai nilai ekonomi yang dapat dimanfaatkan kembali, atau disebut ekonomi sirkular (circular economy).
Diharapkan dalam pengelolaan sampah berbasis 3R pada bagian proses akhir atau disebut Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sudah tidak lagi menerima semua jenis sampah yang berasal dari sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga. TPA hanya menerima sampah tertentu yang karena sifatnya sudah tidak bisa diproses atau digunakan kembali maka selanjutnya ditimbun dengan tanah (landfill).
Untuk itulah perlu dibangun Tempat Pemorosesan Sampah Terpadu (TPST) atau 3R di area strategis seperti di area pemukiman, wisata, pabrik, dan perkantoran. Karena sifatnya bisa di daur-ulang (recycle) dan guna-ulang (reuse) maka sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga diproses di sini terlebih dahulu. Dengan demikian dapat mengurangi beban volume timbulan sampah pada TPA. Sehingga perubahan paradigma lama dalam pengelolaan sampah dari model lama yang penekanannya lebih pada cara open dumping, ke paradigma baru, yang lebih mengutamakan 3R dibanding open dumping.
Gagasan tata kelola sampah berbasis pendekatan 3R telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Selanjutnya pada Bab Peralihan Ketentuan, Pasal 38 disebutkan bahwa: “Penyedian fasilitas pemilahan sampah yang terdiri atas sampah yang mudah terurai, sampah yang dapat didaur-ulang, dan sampah lainnya oleh pemerintah/kabupaten/kota dilakukan paling lama 3 (tahun) sejak Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku.” Artinya, paling tidak pada tahun 2015 sudah terpasang dan berfungsi sejumlah TPS 3R di area strategis, dan pengurangan volume sampah bertahap makin menurun di TPA. Namun dalam penerapannya terkesan asal 3R.
Sebagai contoh, dari hasil kajian KONPHALINDO dan WWF Indonesia berjudul “Tinjauan Terhadap Penerapan Kebijakan Pengelolaan Sampah: “Upaya Menyelamatkan Lingkungan Hidup dan Kesehatan Masyarakat”, menunjukkan bahwa volume sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga yang diterima di TPA Bantargebang, justru terjadi peningkatan antara tahun 2011 sampai 2017 yakni: pada tahun 2011 (5.172,84), tahun 2012 (5.263,63), tahun 2013 (5.651,44) tahun (5.651.44), tahun 2015 (6.419.14), tahun 2016 (6.561,99), dan tahun 2017 (6.875.49) (lihat grafik di bawah).
Tabel Trend TPST (TPA Regional) Bantargebang berdasarkan rata-rata berat sampah per hari (ton/hari)
Sumber: diolah kembali tim kajian KONPHALINDO (2019) dari https://upst.dlh.jakarta.go.id/tpst/data
TPA Bantergebang adalah tipe regional, mencakup DKI Jakarta dan Kota Bekasi dan termasuk juga Bogor dan Tangerang. Khusus wilayah DKI Jakarta, menurut “Open Data Jakarta” sampai tahun 2017 telah dibangun sebanyak 513 unit TPS 3R, 4 unit TPS 3R di wilayah Kepulauan Seribu, dan 1.000 unit TPS termasuk 473 lokasi “sampah mandiri”. Sayangnya, dari TPS 3R belum ada penjelasan terukur mengenai kapasitas pengolahan dan pemrosesan sampah daur-ulang dan guna-ulang secara berkala yang bisa dipakai untuk memantau kinerjanya. Sementara sisi lain masih ada ketidaksiapan dalam persoalan teknis operasional TPS 3R terkait dengan sinergi antar lembaga birokrasi. Selain itu, biaya pembangunan sebuah TPS 3R tidak murah, diperkiraan sekitar 3 milyar rupiah per unit dan itu belum termasuk biaya operasionalnya. Alasan itulah pembangunan secara masif TPS 3R di daerah-daerah jumlahnya sangat terbatas, sehingga pola pendekatan TPA open dumping masih tetap dipertahankan sementara.
Yang belum tuntas
Masalah kelembagaan daur ulang dan guna ulang yang belum tuntas ditata dengan baik, seperti terkait setelah proses pemilihan sampah baik di TPS 3R atau Bank Sampah. Meskipun TPS 3R dan Bank Sampah menyandang kata 3R tetapi dalam siklus tahapan tata kelola daur ulang mereka adalah bagian dari unit pendukung dalam proses daur ulang dan guna-ulang. Kecuali, penerapan daur ulang untuk material sampah organik itu bisa langsung diaplikasikan, karena hanya membutuhkan teknologi sederhana untuk diolah menjadi pupuk organik. Sementara untuk jenis sampah plastik dan kertas membutuhkan modal dan teknologi tinggi yang standarisasi, dan karena sifat materialnya maka sejak awal pihak industri plastik harus dirancang sebelum digunakan untuk konsumen hingga menjadi sampah guna bisa didaur ulang dan guna ulang.
Selanjutnya, pertanyaannya adalah ke mana sampah rumah tangga yang berpotensi untuk guna-ulang (reuse) dan daur ulang (recycle) didistribusikan? Salah satu jenis sampah plastik yang menjadi pokok persoalan lingkungan karena sifat materialnya tidak ramah lingkungan dalam jangka panjang. Industri daur-ulang plastik masih sangat terbatas jumlahnya yang dibangun Indonesia.
Menurut INAPLAS (Asosiasi Industri Plastik Indonesia) sampah plastik bisa diolah kembali oleh industri daur ulang plastik yang ada di beberapa daerah Indonesia, kecuali di wilayah Indonesia Timur. Jumlah industri plastik digabung dengan industri daur ulang plastik tercatat sebanyak 1.527 perusahaan. Dan, kebutuhan atau konsumsi plastik adalah 5,76 juta metrik ton per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi industri plastik tersebut, material plastik bersumber dari pasukan lokal 2,31 juta metrik ton, impor 1,79 juta metrik ton, dan kemampaun daur-ulang 1.66 juta meterik ton. Sementara sampah plastik yang tidak terkelola dengan baik sebanyak 1.04 juta metrik ton (lihat alur pasokan plastik Indonesia).
Namun, tingkat kebutuhan konsumsi plastik ini cenderung meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi negara. Selain itu suka atau tidak suka secara tak langsung volume sampah akan bertambah mengikuti pola konsumsi masyarakat. Jalan berliku dalam pengelolaan sampah 3R, untuk itulah diperlukan penyesuaian dan kecukupan pengetahuan di berbagai lapisan masyarakat dalam menelaah dan menangani masalah persampahan berbasis 3R. (Ruddy Gustave, Koordinator Program Penelitian)