Angle Flassy dan Dominggus A Mampioper – 05 Aug 2008
Selama 25 tahun, masyarakat pribumi Arso, Kabupaten Keerom tidak mampu meningkatkan taraf hidupnya. Hampir 95 persen menggadaikan lahan sawitnya tanpa mengelolanya sendiri.
Longginus Fatagur, Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kabupaten Keerom, masih ingat betul saat tim Perkebunan Sawit PTPN II Tanjung Morawa Medan datang menabur janji dan mimpi meraup kekayaan lewat kebun sawit kepadanya dan 24 tua-tua adat yang lain 25 tahun lalu.
“Empat tahun lagi saat sawit sudah berproduksi, semua masyarakat disini akan berdasi, hidup enak dan berkecukupan. Ada banyak sekolah dan guru, anak-anak akan mudah sekolah. Ada rumah sakit, air bersih dan rumah yang besar,” kenang Fatagur.
Namun setelah 25 tahun berlalu keadaannya justru jauh berbeda. Selain kehilangan tanah ulayat ribuan hektar, masyarakat Arso juga tidak berdasi.
Saat ini penduduk pribumi Arso hanya memiliki tanah sekitar dua hektar lahan plasma sawit, 0,5 hektar lahan pekarangan. Pelepasan tanah di Arso dilakukan secara bertahap, sejak tahun 1981 hingga 1992 dan mencapai total 63.310 hektar.
“Hutan yang dibuka untuk perkebunan sawit saja mencapai 10.700 hektar, maka sebagian besar potensi alam seperti sagu, kayu, babi, ikan, burung semakin sulit ditemukan, padahal kekayaan alam tersebut telah terbukti mampu memberikan kehidupan bagi nenek moyang orang Arso,” ujar Edy Rosariyanto, OFM peneliti dari Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura saat mempresentasikan penelitiannya dalam rangka ulang tahun SKP ke -10, Sabtu 5 Juli lalu.
Pembukaan hutan mengakibatkan penurunan daya dukung hutan (degradasi dan deforestasi) dan penurunan daya dukung lingkungan yang berpotensi besar terjadinya bencana alam dan penurunan derajat kesehatan.
Kehadiran kelapa sawit yang semula diharapkan mampu memberikan peningkatan pendapatan, saat ini justru menyusahkan. Jika melihat pendapatan kotor perbulan yang diperolehnya memang besar, berkisar Rp 1, 6 juta per KK/bulan. Jumlah tersebut kemudian dipotong dengan ongkos angkutan sawit dari kebun ke pabrik Rp 700.000, ongkos buruh untuk menurunkan buah dan pikul Rp 400.000, maka sisa bersih yang diterima petani Rp 501.000 per KK/bulan.
“Ini belum termasuk uang rokok petugas pabrik sebesar Rp 100.000 supaya kita tidak terlalu lama antri di pabrik dan uang keamanan,” ujar Longginus.
Antrian yang panjang saat truk berisi tandan-tandan sawit masuk ke pabrik, menyebabkan petani harus mengeluarkan biaya tambah bagi petugas pabrik. Pabrik juga memprioritaskan truk yang berasal dari lahan miliknya ketimbang truk yang berasal dari lahan plasma milik petani. Hal ini menyebabkan ongkos truk semakin membengkak. Dengan pertimbangan ini kemudian banyak petani pribumi yang mengontrakkan lahannya sebesar Rp 300.000 perbulan dibandingkan mengolah sendiri.
“Dari hasil penelitian kami ternyata sekitar 95 persen petani asli Arso mengontrakkan lahannya Rp 300.000 per bulan atau berkisar antara Rp 10.000 sampai dengan 16.700 per KK/hari, karena hanya ada selisih Rp 200.000 daripada mengolah sendiri,” kata Rosariyanto.
Dengan pendapatan seminim ini, mereka kemudian memanfaatkan lahan pekarangan yang kecil, tanpa menggunakan pupuk kimia dan pestisida dengan mengembangkan pisang, keladi, singkong dan pinang.
Dalam keadaan seperti ini, bukan saja petani pribumi yang menderita, petani non pribumi juga menderita. Dengan pendapatan hanya Rp 501.000 per bulan, mereka harus memenuhi kebutuhan pangan, menyekolahkan anak-anak, berobat dan lain sebagainya. Namun petani non pribumi, seperti Jawa, Timor, Bali dan Masyarakat Papua dari pegunungan tengah memiliki keterampilan tentang pengelolaan pertanian yang lebih baik dibandingkan masyarakat pribumi Arso yang peramu. Mereka bisa lebih survive dengan memanfaatkan lahan pekarangan yang ada.
Pabrik juga memiliki permasalahannya sendiri. Dengan kapasitas yang sangat terbatas yaitu 14 ton tandan buah segar (TBS)/jam atau 300 ton per hari, pabrik tidak mampu menampung seluruh sawit dan kemudian mengolah menjadi CPO (crude palm oil) yang berkualitas. Antrian truk yang panjang hingga mencapai tujuh hari menyebabkan kualitas CPO yang diolah menurun, bahkan jika terlalu lama, petani sering membuang tandan – tandan sawit itu, daripada harus menanggung biaya truk yang tinggi dan menerima harga sawit yang rendah.
“Sebenarnya sejak tahun 21 Agustus 1994 telah terjadi peningkatan kapasitas pabrik kelapa sawit dari 15 ton TBS/ jam menjadi 30 ton tbs/jam. Namun karena pabrik sering rusak, maka saat ini hanya dapat bekerja dengan 14 ton TBS/jam,” kata Ir. Y. Malau, mewakili pimpinan PTPN II Tanjung Morawa.
Masalah ini tidak terselesaikan dengan baik karena perusahaan pusatnya ada di Tanjung Morawa, Medan sedangkan perkebunan dan pabrik ini ada di Papua. Rentang kendali yang cukup jauh menyebabkan permasalahan ini tidak kunjung selesai.
Berlanjut ke: Shock Culture Di Tengah Pengembangan Sawit
http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&newsID=B0092&ikey=1