Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Indonesia Pilih Legally Binding dalam Pemanfaatan Sumber Daya Genetik

S.T. Jahrin – 27 Aug 2007

Dalam pengaturan internasional, Indonesia lebih memilih pendekatan legally binding atau pendekatan yang mengikat. Alasanya, pendekatan ini menyediakan standar minimum untuk pengaturan akses dan pembagian keuntungan (Access and Benefit Sharing atau ABS) pemanfaatan sumber daya genetik oleh masing-masing negara.

Demikian disampaikan Utami Andayani, Asdep Konsevasi Keanekaragaman Hayati, Kementerian Lingkungan Hidup dalam acara Workshop Penyamaan Persepsi dalam rangka Menuju Kesepakatan Nasional untuk isu Akses dan Pembagian Keuntungan dari Pemanfaatan Sumber Daya Genetik, di Departemen Luar Negeri, Jakarta (23/08). Jika tidak menurutnya, kerjasama antar negara harus selalu didasarkan pada perjanjian bilateral dengan standar yang lebih rendah. Seperti terjadi saat ini, dimana pihak pemilik sumber daya genetik umumnya dalam posisi lemah karena keterbatasan kapasitas.

Selain itu, pendekatan legally binding memperjelas hak dan kewajiban antar anggota, khususnya para pemohon akses dan pemilik sumber daya genetik dalam kegiatan akses.

Untuk itulah Indonesia mendukung persyaratan perlunya Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal dan Kesepatan Bersama dari dan dengan negara pemilik sumber daya genetik. Persyaratan ini akan berguna bila produk-produk komersial yang berasal dari pemanfaatan sumber daya genetik, disepakati sebagai kekayaan intelektual yang harus dilindungi.

Sementara itu, negara berkembang lainnya sebagai pemilik keanekaragaman hayati juga mengharapkan pengaturan internasional itu bersifat legally binding atau mengikat. Sedangkan negara-negara maju yang tidak mempunyai keanekaragaman hayati umumnya menginginkan peraturan tersebut bersifat non legally binding atau tidak mengikat.

“Tetapi ada juga sebagian yang berpendapat, pengaturan internasional dapat bersifat sebagian mengikat atau sebagian tidak mengikat. Namun proses ini belum mencapai kesepakatan,” kata Andayani.

Negara-negara berkembang juga menginginkan di dalam pengaturan internasional mencakup sumber daya genetik, derivative, produk dari sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang terkait sumber daya tersebut.

Menurut Andayani, hal ini sejalan dengan adanya keterkaitan antara pengetahuan tradisional dengan pelestarian dan pemanfaatan sumber daya genetik yang selama ini turun-temurun dilakukan oleh masyarakat lokal atau tempatan.

Negara pemilik sumber daya genetik juga menginginkan agar memiliki hak yang setara dengan negara pengakses. Negara pengakses harus meminta izin pada negara pemilik atau penyedia sumber daya genetik sebelum melakukan akses. Lalu melakukan kesepakatan bersama antar negara pemilik dan negara pengakses. Apabila persyaratan ini tidak dilakukan, maka negara pengakses dianggap telah melakukan pelanggaran.

Baru 18 negara kembangkan ABS

Saat ini baru sekitar 18 negara yang telah mengembangkan pengaturan nasional mengenai akses dan pembagian keuntungan atau Access and Benefit Sharing (ABS), baik yang diatur tersendiri maupun tercakup dalam peraturan tentang keanekaragaman hayati. Beberapa negara yang telah mengembangkan peraturan nasionalnya antara lain Philipina, Brazil, Peru, India, Ethiopia, dan lain-lain.

Indonesia sendiri menurut Andayani, sampai saat ini masih dalam proses pembahasan penyempurnaan Rancangan Undang-Undang (RUU) Sumber Daya Genetik yang di dalamnya sudah mencakup akses dan pembangian keuntungan dari pemanfaatan sumber daya genetik.

Di tingkat regional, peraturan mengenai ABS sudah ada Decision 391 dari Andean Pact mengenai Akses dan Pembagian Keuntungan, African Model Law untuk Perlindungan Hak Masyarakat Lokal, Petani dan Pemulia dan untuk Pengaturan Akses terhadap Sumber Daya Hayati.

Sedangkan di tingkat ASEAN, sudah ada Draft ASEAN Framework Agreement on Accsess to Biological and Genetik Resources yang tujuannya menyediakan standar minimum bagi anggota negara ASEAN untuk mengatur akses dan pembagian keuntungan dan pemanfaatan sumber daya genetik.

Saat ini baru lima negara yang telah menandatangani persetujuan Draft ASEAN tersebut, yaitu Singapura, Philipina, Laos, Kamboja dan Brunei. Sedangkan Indonesia masih dalam proses koordinasi dengan sektor-sektor terkait.

Menurutnya, pada pertemuan ketujuh Konvensi Keanekaragaman Hayati tahun 2004, disepakati perlunya pengaturan internasional. Pada pertemuan tersebut juga disepakati pembentukan kelompok kerja yang khusus membahas rencana pengaturan internasional sumber daya genetik itu seperti apa.

“Kelompok kerja tersebut telah menghasilkan Draft International Regime on Access and Benefit Sharing,” kata Andayani.

Pada pertemuan kedelapan pada tahun 2006 yang lalu, draft internasional itu telah disepakati oleh negara-negara anggota untuk dijadikan bahan negosiasi pada pertemuan Konvensi Keanekaragaman Hayati selanjutnya.

Targetnya pada tahun 2010 pengaturan internasional tentang akses dan pembagian keuntungan dari pemanfaatan sumber daya genetik dapat disepakati.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *