Ani Purwati – 23 Jul 2010
Pada 2009, ada sekitar 48,25% warga miskin di Kalimantan Timur yang sebagian besar berada di sekitar kawasan tambang batubara. Dari 203.156 jiwa warga desa, ada 90.025 jiwa warga yang miskin. Warga di 77 desa dari 135 desa ini masih belum mendapatkan listrik. Sebagian besar warga miskin ini bermata pencarian sebagai petani.
“Data Dinas Pertanian setempat pada 2009 menunjukkan bahwa setiap tahun lahan pertanian seluas 12 ribu hektar mengalami konversi untuk kepentingan lain seperti tambang, perkebunan sawit dan konservasi ,” kata Merah Johansyah dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur (Kaltim) di sela Diskusi Media “Mengapa Korupsi Batubara Sulit Terbongkar?” yang diselenggarakan Jatam di Jakarta, Kamis (22/7).
Menurut Merah, dalam sepuluh tahun terakhir ini warga yang sebagian besar adalah petani ini menjual tanahnya untuk tambang dan beralih menjadi tenaga kerja tambang. Sementara itu jumlah ijin tambang Kuasa Pertambangan (KP) yang terus mengalami peningkatan semakin menguatkan adanya konversi ini. Dari 2001 sampai 2010 KP tambang berjumlah 1269 dengan luas 3,2 juta hektar.
Dengan berkurangnya lahan yang dimiliki, petani yang sebagian besar merupakan tadah hujan dan peladang ini mengalami kekurangan pengairan dan hasil panen. Ini terkait dengan penambangan di bukit yang menjadi sumber mata air dan pemanfaatan air berlebih untuk tambang sehingga pengairan untuk pertanian berkurang.
Lebih lanjut menurut menurut Merah, lebih dari 200 juta ton batubara dikeruk dari bumi Kalimantan. Sementara 70% memenuhi kebutuhan asing. Konsesi melebihi luas daratan Kaltim yang memiliki luas daratan 19.88 juta hektar. Saat ini ada 1.180 Kuasa Pertambangan (KP) dengan luasnya 3,1 juta hektar serta 33 Kontrak Karya (PKP2B) luasnya 1,3 juta hektar. Ada 4,1 juta hektar ijin kebun sawit, 8,7 juta hektar ijin usaha pengelolaan hutan dan kawasan lindung seluas 4,6 juta hektar. Total perijinan ditambah hutan lindung 21,7 juta hektar ini lebih luas dari daratan Kaltim yang hanya 19.8 juta hektar.
Kemiskinan warga di seputar tambang juga diperparah oleh potensi korupsi industri tambang. Menurut Marwan Batubara, mantan anggota DPD yang melakukan kajian seputar penerimaan tambang, ada sekitar 20-30% penerimaan dari tambang terutama batubara berpotensi dikorupsi dari daerah hingga pusat. Potensi ini seperti adanya mafia penerbitan ijin di daerah, mafia proses perijinan saat survey, eksplorasi, analisa Amdal dan sebagainya, mafia operasi produksi, mafia proses pengalihan saham dari pemilik lama, dana pengelolaan daerah, dana royalty, dana proses pengadaan jasa tambang di pusat dan transfer rising.
Ke depan, menurut Marwan, untuk menghilangkan potensi korupsi tambang tersebut, tergantung bagaimana niat pemerintah memperbaiki system di tambang terutama batubara.