Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Dunia yang Menjauh dari Keberlanjutan

Lutfiyah Hanim – 28 Jul 2011

“Dunia tidak lebih dekat ke arah keberlanjutan,” demikian dikatakan oleh salah seorang pembicara utama dalam Dialog Tingkat Tinggi atas Kerangka Institusi untuk Pembangunan Berkelanjutan (The high-level dialogue on the institutional framework for sustainable development atau HLD IFSD) yang diadakan di Solo, 19 – 22 Juli 2011.

Dalam kurun waktu kurang dari setahun ke depan, Konferensi PBB untuk Pembangunan Berkelanjutan (Rio + 20) akan diadakan pada Juni 2012 mendatang di kota Rio de Janeiro Brazil.

Konferensi tersebut akan menandai peringatan, 40 tahun Konferensi Stockholm mengenai manusia dan lingkungan pada tahun 1972; 20 tahun Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Brazil tahun 1992; dan 10 tahun setelah WSSD (World Summit on Sustainable Development) di Johannesburg Afrika Selatan 2002.

Setelah komitmen, janji dan deklarasi dituangkan dalam berbagai konferensi tingkat tinggi tersebut, kondisi dunia malah menjauh dari keberlanjutan. Mengapa? Banyak pembicara dan pemakalah dalam HLD IFSD, nampaknya sepakat bahwa implementasi adalah salah satu kunci.

Pertemuan yang diadakan atas kerjasama Pemerintah Indonesia dengan Departemen untuk Urusan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangas-bangsa (United Nations Department of Economic and Social Affairs/UN-DESA) diselenggarakan di kota yang baru saja menggelar Karnaval Batik.

“Yang harus kita lihat lebih dekat juga adalah apakah kerja-kerja kita telah benar-benar mengubah program-program dan kebijakan pembangunan diformulasikan,” kata Nitin Desai, pembicara utama dalam sesi pertama yang bertopik “Memperkuat Sistem Koherensi dan Koordinasi dari Kerangka Institusi PBB untuk Pembangunan Berkelanjutan atau  Enhancing UN system coherence and coordination of the insitutional framework for sustainable development”.

“Hal terpenting yang diperlukan adalah mengintegrasikan lingkungan dengan pendekatan yang berpusat pada rakyat untuk pembangunan. Anda tidak bisa melindungi hutan padang rumput savannah, jika gagal menyediakan Suku Masai (Red: suku yang tinggal di Afrika bagian Timur) dengan pilihan yang layak untuk mendapatkan penghasilan,” demikian lanjut Nitin.

Nitin Desai, yang pernah menjabat sebagai Under Secretary General ECOSOC  (Dewan Ekonomi dan Sosial PBB / The Economic and Social Council) dari tahun 1993 – 2003, mempresentasikan makalah mengenai institusi global untuk keberlanjutan.

Presentasi Nitin diawali dengan mengingatkan beberapa potongan peristiwa terbentuknya institusi untuk pembangunan berkelanjutan yang sudah ada saat ini. Di Stockholm, dunia mengatakan bahwa kami telah mengabaikan tanggung jawab kita untuk melindungi lingkungan dan memerlukan institusi yang khusus untuk mengerjakan (isu lingkungan) di tingkat global dan nasional, kemudian lahirlah UNEP (Program Lingkungan PBB).

 Di Rio, papar Nitin, dunia mengakui bahwa lingkungan tidak bisa dilindungi jika tekanan pada pembangunan diabaikan, dan kami membutuhkan institusi yang dapat menghubungkan antara lingkungan dan pembangunan. Kemudian Komisi untuk Pembangunan Berkelanjutan (Comission on Sustainable Development) lahir. 

Selanjutnya di Johannesburg, dunia menyesali kegagalan untuk mengimplementasikan janji dari KTT di Rio, dan berupaya untuk menguatkan aksi melalui kemitraan publik-privat dan mengkoordinasikan berbagai program untuk air, energi, kesehatan, pertanian, dan keragaman hayati (sering juga disingkat dengan WEHAB – water, health, agriculture, dan biodiversity).

 Sepanjang proses dari Stockholm sampai saat ini, juga ada perjanjian-perjanjian lingkungan, sebagian di bawah UNEP, dan beberapa lainnya di luar UNEP dan negara-negara anggota juga telah membuat sekretariat untuk masing-masing konvensi itu. Nitin juga mengamati, tumbuhnya berbagai kelompok-kelompok, organisasi yang bekerja untuk isu-isu lingkungan.

 Pertanyaannya kemudian, kata Nitin, apakah institusi-institusi dan mekanisme untuk mengkoordinasikan aksi dan program yang ada cukup untuk menjawab tantangan pembangunan berkelanjutan? “Tidak. Dunia saat ini tidak lebih mendekat ke arah keberlanjutan dari 40 tahun yang lalu ketika kita memulai,” jawab Nitin.

 Sementara panelis dalam sesi yang sama, Martin Khor memberikan perspektifnya atas kerangka institusi untuk pembangunan berkelanjutan. Pilar-pilar kunci dalam pembangunan berkelanjutan sedang dalam tantangan besar. Masalah utamanya adalah insititusi yang dibentuk untuk menindaklanjuti dari hasil-hasil KTT Rio, lemah. Visi yang dihasilkan di Rio memandang jauh ke depan, dan agenda yang dibuat sangat ambisius, tetapi tidak diikuti oleh insitusinya, yang hanya memiliki mandat terbatas untuk memonitor program tindak lanjut, hanya memiliki sedikit staf dan hanya mengadakan pertemuan dua minggu dalam satu tahun. Tidak ada waktu untuk mendiskusikan dan aksi untuk mengatasi masalah ini

 Lebih jauh, topik-topik penting hanya didiskusikan sekali dalam beberapa tahun, beberapa isu cukup penting tidak sempat dibicarakan, dan karena waktu yang singkat hanya deklarasi atau resolusi yang dirundingkan. Sehingga hasilnya, kapasitas implementasi atau strategi di CSD atau di forum lain, rendah. Juga ada kerangka yang buruk untuk menjembatani atau menstimulasi kebijakan dan lembaga pembangunan berkelanjutan di tingkat nasional. Masalah utamanya adalah pada implementasi dan kerangka institusi untuk implementasi. Karena itu menurut Martin, perlu ada upaya besar untuk memperkuat arsitektur pembangunan berkelanjutan.

 Martin Khor yang juga Direktur South Centre (lembaga antar pemerintah yang didirikan 31 Juli 1995, dan berkantor di Jenewa), lebih lanjut mengatakan, dasar dari pembentukan institusi ádalah prinsip dan tujuan. Di awali dengan adanya krisis lingkungan, ini hanya akan diatasi secara tepat hanya jika isu-isu pembangunan sebagai tujuan dapat diatasi secara bersama dan seimbang. Karena itu, KTT Rio menjadi Konferensi untuk Lingkungan dan Pembangunan.

 Hubungan integral antara lingkungan dan pembangunan menjadi hal yang utama dalam pembangunan berkelanjutan, kata Martin. Ini tercermin dalam Prinsip-prinsip Rio dimana prinsip kehati-hatian dini (precautionary principle) dan pencemar membayar kerugian (polluter pays principle) serta prinsip pembangunan, hak untuk membangun dan prinsip keadilan, yaitu bersama tetapi berbeda tanggung jawab (common but differentiated principle).

 Martin Khor mengatakan agenda 21 kemudian menjadi program-proram aksi yang kemudian ditegaskan kembali dalam Rencana Tindak Lanjut Johannesburg pada tahun 2002. Disepakati bahwa pembangunan berkelanjutan memiliki tiga pilar, ekonomi, sosial dan lingkungan yang harus diseimbangkan, dijadikan dasar dan dikembangkan bersama. Di bawah ketiga pilar itu semua, menurut Martin, terdapat komponen kerjasama internasional, dimana negara maju telah berkomitmen untuk menyediakan sumber daya keuangan, transfer teknologi dan pengembangan kapasitas untuk negara berkembang. Sehingga seluruh dunia dapat mendapatkan manfaat dari upaya mengatasi krisis lingkungan.

 Dialog Tingkat Tinggi yang dihadiri oleh sekitar 300 peserta dari berbagai kalangan, terbanyak adalah staf pemerintah dan diplomat dari berbagai negara anggota PBB juga menghadirkan berbagai pembicara dari dalam dan luar negeri. Dari dalam negeri, seperti Rina Iriani Sri Ratnaningsih (Bupati Karang Anyar) yang berbicara dalam pembukaan. Kemudian Liana Bratasida (Kementrian Negara Lingkungan Hidup), Emil Salim, Erna Witoelar (mantan Duta Besar Khusus PBB untuk Millenium Development Goals), yang masing-masing berbicara untuk sesi “Strengthening, transforming and reforming the intergovernmental institutions”; “Promoting sustainable development governance at the national and local levels”; dan “Strengthening international support to national level sustainable development governance”.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *