Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Deadlock Perundingan Iklim di Kopenhagen

Disarikan Ani Purwati – 16 Dec 2009

Lebih dari separuh perjalanan Konferensi Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen, namun nasib pertemuan masih berada pada keseimbangan antara berhasil dan gagal.

 Konferensi yang diselenggarakan pada 7-18 Desember ini telah menyelesaikan minggu pertama. Yang lebih sulit dan tegang pada minggu kedua ini, ketika seratus Presiden dan Perdana Menteri diharapkan hadir pada tanggal 17 dan 18 Desember. Demikian disampaikan dalam laporan Martin Khor, Direktur Eksekutif South Centre dari Konferensi Perubahan Iklim Kopenhagen (14/12).

Harapannya adalah bahwa mereka akan menyajikan suatu rancangan “hasil kesepakatan bersama” atau deklarasi yang disiapkan para delegasi dan menteri. Tetapi sejauh ini, yang nampak dari perundingan adalah politik para pemimpin dalam membuat putusan sendiri-sendiri.

Menurut Khor, ada banyak isu-isu kunci tetap belum terpecahkan. Masalah yang terbesar yang telah muncul dalam beberapa hari terakhir adalah bentuk dan struktur rezim iklim global ke depan.

Negara-negara maju, terutama Jepang dan Eropa, yang bersikeras bahwa kesepakatan baru perlu dibentuk untuk menggantikan Protokol Kyoto sekarang. Hampir semua anggota Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCC) adalah anggota protokol ini, kecuali Amerika Serikat.

Karena Amerika Serikat tidak mau bergabung, negara-negara maju yang lain tidak ingin terus berada di dalam Protokol, dan malah ingin mendirikan perjanjian lain yang mencakup AS tapi juga menempatkan kewajiban baru pada negara-negara berkembang untuk bertindak atas emisi mereka. 

Hal ini tidak dapat diterima oleh negara-negara berkembang, karena perjanjian baru kemungkinan besar tidak akan menempatkan komitmen ketat yang mengikat secara hukum bagi negara-negara maju untuk memotong emisi mereka, tidak seperti Protokol Kyoto.

Selain itu negara-negara berkembang di bawah peraturan sekarang tidak mempunyai kewajiban dalam komitmen mengikat secara hukum untuk mengurangi emisi, dan mereka tidak mau didorong pada tahap akhir ini untuk mengambil kewajiban baru yang tidak diamanatkan dalam Rencana Aksi Bali dan mereka juga takut akan berdampak negatif pada pembangunan ekonomi mereka, terutama sejak janji pendanaan dan transfer teknologi belum terpenuhi.   

Ketika rancangan baru keputusan yang dikeluarkan oleh Ketua dua kelompok kerja utama (tentang komitmen pengurangan emisi selanjutnya oleh negara-negara maju Annex I di bawah Protokol Kyoto dan aksi kerjasama jangka panjang di bawah Konvensi) pada konferensi Kamis lalu, Eropa dan Jepang pertama kali yang menyerang saat mereka berada pada keadaan psemis bahwa Protokol Kyoto akan tetap. Lebih dari satu hari mereka bahkan menolak untuk terlibat dalam perundingan mengenai Protokol Kyoto, dan justru ingin konsultasi dengan Ketua untuk melihat apakah teks-teks mereka dapat dimodifikasi.

Pada rapat pleno Jumat minggu lalu, Eropa dan Jepang kembali menyuarakan penolakan mereka terhadap teks-teks. Menurut mereka, perpanjangan Protokol Kyoto tidak akan menyelesaikan kebutuhan untuk mengurangi emisi. Sebuah “perjanjian tunggal” yang juga mencakup Amerika Serikat dan negara-negara berkembang diperlukan sebagai gantinya.

Pada pertemuan yang sama, negara-negara berkembang bersikeras bahwa Protokol Kyoto terus berlanjut dan negara-negara maju sepakat untuk memotong emisi gas rumah kaca sedikitnya 40% pada tahun 2020, dibandingkan dengan tingkat tahun 1990. Dan secara terpisah, melalui Keputusan dari Konferensi Para Pihak (COP) Konvensi, AS harus berkomitmen untuk upaya yang sama dalam Keputusan COP, sementara negara-negara berkembang akan mengambil tindakan-tindakan mitigasi sukarela, yang didukung oleh pendanaan dan transfer teknologi.

Pada minggu terakhir, beberapa negara berkembang telah mengumumkan target nasional. Sebagai contoh, China menyatakan akan mengurangi intensitas emisi dari PDB-nya sebesar 40-45% pada 2020 dibandingkan dengan tingkat tahun 2005. Untuk setiap unit hasil, akan mengurangi 40-45% gas rumah kaca. Hal ini sebuah target yang cukup ambisius, yang lebih daripada yang dicapai negara-negara maju sendiri dalam beberapa tahun terakhir. Demikian menurut seorang ilmuwan China pada sebuah forum tentang “Carbon Ekuitas” yang diselenggarakan di pusat konferensi minggu lalu.

Tetapi orang-orang Eropa tidak terkesan dan mengatakan bahwa target China tidak cukup. Dan pada konferensi Kopenhagen, mereka dan negara-negara maju lain tetap menekankan bahwa negara-negara berkembang harus berkomitmen untuk berbuat lebih banyak, seperti menyimpang dari “bisnis seperti biasa” dengan tingkat emisi 15-30% pada tahun 2020. Tidak ada definisi yang disepakati atau bahkan pengertian umum tentang apa yang dimaksud “bisnis seperti biasa”.

Kewajiban semacam ini bukanlah kesepakatn yang disetujui pada pertemuan COP di Bali pada Desember 2007, dan telah ditolak oleh sebagian besar negara-negara berkembang, yang siap untuk membuat target-target nasional secara sukarela tetapi tidak ingin mengikat target tersebut dalam sebuah perjanjian. [Konvensi dan Protokol Kyoto didasarkan pada prinsip umum tetapi tanggung jawab berbeda, menyetujui tanggung jawab historis negara-negara maju yang menyebabkan pemanasan global dan kemampuan mereka jauh lebih besar untuk mengambil tindakan-tindakan pengurangan emisi. 

Negara-negara berkembang bersikeras untuk “dual jalur” hasil di Kopenhagen. Jalur pertama adalah sebuah kesepakatan untuk periode kedua dalam pengurangan emisi oleh negara-negara maju (kecuali AS) di bawah Protokol Kyoto (mulai 2013). Jalur kedua adalah Keputusan COP di bawah Konvensi di mana AS akan membuat komitmen pengurangan emisi yang mirip dengan negara-negara maju lainnya, sementara negara-negara berkembang setuju untuk mengambil tindakan-tindakan mitigasi yang didukung oleh pendanaan dan teknologi (dan ini sesuai dengan yang terukur, terlaporkan dan terverifikasi).

“Kurangnya kemajuan dalam perundingan dan kurangnya keterlibatan negara-negara maju tidak dapat diterima, dan kami menentang niat mereka untuk membunuh Protokol Kyoto, satu-satunya instrumen yang mengikat secara hukum yang sekarang kita miliki,” kata Sudan sebagai Ketua Kelompok G77 dan China.

Negara-negara berkembang berbicara satu demi satu untuk mendukung hal ini, dan mengulangi bahwa harus ada 2 jalur proses di pertemuan Konvensi pada hari Jumat.

Para Pihak Konvensi dan Protokol Kyoto, termasuk Grenada (atas nama Aliansi Negara Kepulauan Kecil), Gambia (atas nama Kelompok Afrika), Afrika Selatan, Nigeria, Brasil, India, China, Malaysia, Arab Saudi, Pakistan, Oman, Mesir, Papua Nugini , Tuvalu, Afghanistan, Palestina, Kuwait, Mikronesia dan Bolivia.

“Kemurnian dari dua jalur harus dijaga dan kita harus menghindari setiap loncatan dari pekerjaan utama kita untuk menyimpulkan periode kedua dari Protokol Kyoto,” kata India. 

China juga menegaskan bahwa sistem dua jalur adalah apa yang disepakati oleh semua Pihak Konvensi (termasuk Amerika Serikat) di Bali, dan sekarang dunia menyaksikan lagi saat konferensi hanya memiliki waktu beberapa hari lagi, sementara negara-negara maju belum menunjukkan kemauan politik untuk bertindak.

Bolivia mencaci negara-negara maju, yang bertanggung jawab atas 75% dari emisi sejarah di atmosfer, karena ingin membunuh Protokol Kyoto dalam rangka menolak membayar utang iklim mereka pada negara-negara berkembang dan Ibu Pertiwi. “Sekarang mereka mengatakan ingin menunggu orang lain untuk berjanji sebelum mereka membuat tanggapan. Itu bukan sikap yang bertanggung jawab,” kata Bolivia.

Ketika perdebatan berlangsung di aula konferensi, lebih dari 100.000 orang berbaris melalui jalan-jalan di Kopenhagen, menuntut tindakan serta “keadilan iklim” dari para pemimpin dunia.

Kebuntuan dalam pembicaraan, terutama tentang apakah Protokol Kyoto akan bertahan dan apakah akan ada hasil dalam dua jalur, atau perjanjian tunggal baru, mengancam kesuksesan kesimpulan konferensi. Hanya beberapa hari sebelum Presiden dan Perdana Menteri datang pada 17-18 Desember, diharapkan ada penandatanganan bersejarah kesepakatan iklim.

 

Apakah ada kesepakatan parsial, yang setidaknya harus meliputi arsitektur rezim iklim, atau hanya sebuah kesepakatan untuk terus berbicara, masih harus dilihat.

Sumber: http://www.twnside.org.sg/title2/climate/copenhagen.up.01.htm

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *