Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Catatan Perjalanan: Ritual Pledang Baru, Pasar Barter dan Beleo di Lamalera #1

Kesibukan perempuan-perempuan Desa Lamalera pagi ini tidak seperti hari-hari biasanya tetapi hari ini Jumat (29/4) mereka terlihat sibuk menyiapkan daging paus kering dan ikan kering lainnya di bawa ke pasar untuk ditukar (barter) dengan bahan pangan lain. Setiap hari Jumat adalah hari pasar di Desa Lamalera, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Hari ini termasuk hari istimewa bagi saya, dan para pelancong yang hadir di desa ini sebab bisa menyaksikan langsung beberapa kegiatan seperti pasar barter, upacara pesta pledang (perahu) baru, dan penangkapan koteklema (istilah lokal untuk menyebut jenis ikan paus sperma). Menurut Goris Topoona, jarang sekali terjadi beberapa peristiwa di atas bisa terjadi pada hari yang sama.

Selain beberapa kegiatan di atas, sore harinya masih ada kegiatan musyawarah nelayan atau bahasa setempatnya tobu nama fatta. Dan, keesokan harinya Sabtu (30/5) dilanjutkan kegiatan kebaktian misa arwah untuk mendoakan arwah-arwah yang telah meninggal di laut. Barulah hari Minggu, 1 Mei kegiatan kebaktian dan upacara pembukaan musim lefa atau waktunya turun melaut.

Pekerjaan menangkap jenis ikan-ikan besar atau mamalia laut seperti paus di desa ini merupakan tradisi masyarakat di sini, dan tradisi mereka sudah tersebar dan terdengar sampai ke seluruh penjuru bumi. Maka tak heran banyak beragam bangsa yang berdatangan mengunjugi ke desa ini tujuannya ingin merekam, menyaksikan, dan merasakan sensasi kehidupan sehari-hari bersama warga setempat. Meskipun sarana transportasi, makanan, air bersih, dan penginapan serba terbatas tapi nampaknya itu bukanlah masalah serius bagi sejumlah wisatawan yang memutuskan tinggal berlama-lama.

Desa Lamalera pun kini semakin dikenal sebagai salah satu tujuan wisata di satu sisi sedang di sisi lain perubahan-perubahan wajah desa dari ketertinggalan menuju “desa wisata”. Tak bisa dipungkiri hari ini arus uang, barang dan gaya hidup dari kota setiap hari mengalir ke desa. Apalagi sarana fisik seperti pembangkit listrik sudah terpasang, kini mereka tak lagi hidup dalam kegelapan di malam hari. Menara (tower) pemancar komunikasi juga sudah terpasang dan hal itu semakin memudahkan komunikasi tanpa batas. Namun semua fasilitas itu menyertakan masalah “tak kelihatan” dan ada biaya yang harus ditanggung dengan uang.

Kini kaum muda semakin jarang kelihatan di desa, rata-rata mereka dikirim ke luar desa untuk sekolah yang lebih tinggi dan mencari pekerjaan yang lebih layak sementara yang tertinggal di desa adalah janda-janda, orang-orang tua dan anak-anak kecil. Berikut ini adalah hasil rekaman perjalanan dan pengamatan kehidupan sosial menjelang upacara musim turun ke laut (leffa) menangkap mamalia paus. Kegiatan ini diawali dengan selesainya perbaikan sebuah pledang bernama Kena Puka. Sesuai keyakinan dan praktek tradisi masyarakat setempat bahwa setiap pledang yang baru atau selesai perbaikan harus menjalani beberapa rangkaian upacara sebelum resmi turun melaut, termasuk salah satu rangkaian upacara itu adalah “mengunjungi” hari pasar barter di Desa Wulandoni atau Fula Doni.

Pasar barter pindah lokasi

Dua tahun lalu kegiatan pasar barter masih terpusat di Desa Wulandoni namun sejak peristiwa pertikaian berdarah 17 Agustus 2014 seluruh kegiatan pasar pindah ke dua lokasi baru yaitu, Desa Lamalera B dan Desa Pour. Keputusan pindah itu merupakan keinginan bersama warga desa Lamalera bersama dengan warga desa tetangga, mereka merasa “tidak aman” jika kegiatan pasar masih dilaksanakan di Wulandoni.

Memang peristiwa berdarah di Wulandoni itu bukan akibat langsung dari kegiatan pasar barter melainkan dipicu masalah pelaksanaan proyek PNPM – MP (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat – Mandiri Perdesaan). Singkat cerita, sehari sebelumnya (16/8) warga Pantai Harapan melakukan penggalian parit yang rencananya akan dibangun talud pengaman pantai. Namun kegiatan penggalian parit itu dianggap bermasalah karena melanggar kesepakatan status tanah, dan untuk itu harus dihentikan sementara sampai ada kejelasan bersama dengan pihak pemilik tanah. Namun peringatan itu tidak digubris oleh warga Pantai Harapan (pendatang baru). Akibatnya terjadi pengeroyokan terhadap dua orang penjabat Desa Wulandoni. Dan, saat itu bertepatan sedang berlangsung hari pasar barter. Melihat sikap warga Pantai Harapan yang semakin brutal dan tidak bersahabat ketika melintas di area pasar menyebabkan rasa ketakutan, kemudian mereka berlari berhamburan menyelamatkan diri. Salah satu seorang menjelaskan, saat sekelompok warga Pantai Harapan sedang memasang pilar, terdengar teriakan bakar wulandoni” (lihat http://lewolembata.blogspot.co.id/2014/12/wulandoni-prahara-itu-belum-selesai.html).

Serangan kembali dilancarkan oleh warga Pantai Harapan keesokan harinya (17/8) sekitar pukul 11.00 siang. Akibat pertikaian itu satu orang warga wulandoni mati dibantai dan 2 orang luka parah. Kerusakan material yang dilaporkan tercatat dua rumah pegawai hangus terbakar, kerusakan bangunan gereja, kantor camat, dan puluhan rumah warga dirusak. Sedang dua orang warga Pantai Harapan mengalami luka parah (lihat http://arsip.floresbangkit.com/2014/08/bentrok-warga-situasi-desa-wulandoni-malam-ini-mencekam/#sthash.Iln4PDJs.dpuf)

Meskipun perjanjian perdamaian sudah disepakati bersama oleh kedua belah pihak yang bertikai namun secara “diam-diam” warga desa Lamalera dan warga desa lain tetap menolaknya. Buktinya sampai hari ini kegiatan pasar barter masih berlangsung di Desa Lamalera B. Menurut seorang warga Lamalera B, bahwa pasar di Wulandoni itu memiliki arti penting, memiliki ikatan batin bersama dengan sejumlah suku yang mendiami desa Lamalera dan desa Wulandoni sekitarnya yang ditandai dengan menancapkan sebuah kayu (pajuk fule) sebagai tanda bahwa pasar akan berlangsung di tempat itu. Jadi, selama belum ada upacara ritual bersama dengan suku-suku pendiri pasar itu kecil kemungkinan mereka itu mau menerima tawaran untuk kembali ke sana.

Hari pasar seminggu sekali setiap hari Sabtu, dan ada perubahan waktu sekarang dibuka setiap hari Jumat dari pukul 9.00 dan berakhir sekitar pukul 11.00 WIB. Kegiatan pasar yang baru di Desa Lamalera sudah berbeda jika dibandingkan di Wulandoni dulu, demikian beberapa pendapat warga yang dirangkum. Sekarang itu makin banyak pedagang keliling dari kota Lewoleba yang membuka tenda pada hari pasar sebaliknya sudah berkurang warga desa yang melakukan barter (Pos Kupang, 21/7/2015).

Sistem barter masih dipraktekkan tetapi hanya untuk beberapa jenis pangan tertentu saja sedang beberapa jenis pangan lain harus dibeli dengan uang. Harga pisang merah (api), misalnya dijual 5 ribu per per sisir dan buah alpokat dijual dengan harga 5 ribu per buah. Alasannya, para pedagang datang ke pasar dan membawa hasil panen dengan menggunakan angkutan seperti bus dan ojek dari desanya. Dan ongkosnya harus dibayar dengan uang. Para pemilik bus dan ojek juga membeli bahan bakar minyak dengan uang, dan pemilik membeli bus dan motor juga dengan uang. Perlahan, sistem barter menghilang, lenyap ditelan ekonomi uang.
(bersambung)

Oleh: Ruddy Gustave – Peneliti KONPHALINDO (Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia)
Catatan: tulisan perjalaan ini merupakan bagian pertama dari dua tulisan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *