Oleh Ruddy Gustave, KONPHALINDO
Burung hantu, bagi sebagian kelompok masyarakat dianggap membawa kabar buruk atau merupakan pertanda buruk. Namun ada juga kelompok masyarakat tertentu seperti di Minahasa, Sulawesi Utara mengganggap burung hantu ini sakral dan pembawa kabar baik. Seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan pengetahuan tentang lingkungan hidup dan fungsinya, burung hantu mulai diterima keberadaannya dalam sistem pengendalian hama di persawahan seperti pengalaman kelompok masyarakat di Banjar Pagi, Desa Senganan, Penebel, Kabupaten Tabanan, Pulau Bali.
Kelompok tani di beberapa daerah sudah merintis untuk menggunakan pendekatan sistem pengendalian hama di sawah memakai agen hayati atau rantai makan keanakeragaman hayati. Salah satunya agen hayati yang dianggap efektif untuk mengendalikan populasi tikus di sawah adalah burung hantu.
Burung hantu memiliki beragam nama daerah dan beberapa jenis yang bisa ditemukan di wilayah Indonesia, paling tidak tercatat ada 54 jenis (lihat https://alamendah.org/2014/10/17/54-jenis-burung-hantu-di-indonesia/). Beberapa tempat di Pulau Bali menyebutnya celepuk, sebagian masyarakat di Pulau Jawa juga menyebut celepuk dan ada juga yang menyebut serak, dan sebutan manguni di daerah Minahasa, Sulewesi Utara.
Burung hantu termasuk golongan burung buas pemakan daging atau karnivora, dan aktif di malam hari (nokturnal). Makanan utamanya dalam sistem rantai makanan di lingkungan alam adalah serangga, kodok, dan tikus. Maka kehadiran burung hantu secara alami dapat berfungsi menekan keseimbangan populasi tikus di area persawahan.
Burung hantu datang tikus pun menghilang dari sawah, demikian pengakuan sejumlah petani yang ditemui di tengah sawah. Alasan itu pula Made Jonita dan kawan-kawannya memulai usaha penangkaran burung hantu jenis Tyto alba pada tahun 2015. Usaha mereka itu didampingi kelompok mahasiswa Fakultas Perternakan Universitas Udayana. Menurut pengalaman Made Jonita, pengetahuan mengenai burung hantu ini didapat ketika diutus mengikuti kegiatan studi banding ke Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Alasannya, kelompok tani di Desa Tlegoweru, Demak sudah merintis pendekatan penangkaran burung hantu ini sejak tahun 2010, dan berhasil mengatasi mengendalikan populasi tikus di sawah. Setelah kembali dari sana mulailah memburu anakan burung hantu. Kurang lebih enam bulan lamanya mencari ke tempat-tempat di mana ada burung hantu, dan berhasil mendapatkan enam ekor anakan.
Dari enam ekor anakan burung hantu itu berhasil di tangkar menjadi 12 ekor, dan sekarang 12 ekor itu sudah berhasil di tangkar menjadi 14 ekor anakan. Selanjutnya 2016, berhasil dilepas 20 ekor ke alam bebas. Ada laporan dari warga masyarakat bahwa burung yang dilepasliarkan itu sudah ada yang berhasil berkembangbiak lagi di alam bebas. Hanya dalam kurun waktu setahun saja sepasang burung hantu sudah siap kawin dan reproduksi. Kira-kira umur delapan bulan burung hantu beranjak dewasa dan sudah bisa dilepas ke alam bebas, kata Made Jonita.
Jadi, tujuan penangkaran burung hantu tersebut untuk dilepasliarkan ke alam bebas guna menciptakan keseimbangan dan mengatasi masalah serangan tikus di persawahan. Caranya di sepanjang persawahan di bagian tengah sawah ditancapkan tiang bangunan rumah burung hantu. Jumlah keseluruhan yang telah dipasang ada sebanyak 17 tiang rumah pada area lima subak. Kegunaan rumah burung hantu ini berfungsi untuk tempat berlindung pada siang hari dan bertelur. Karena burung hantu dianggap tidak pandai membangun sarangnya sendiri, sehingga biasanya telurnya diletakkan di lubang pohon atau lubang atap rumah, atau mengambil alih sarang burung lain yang telah ditinggalkan.
Menurut Sukmawati dan kawan-kawan yang dipublikasi di Buletin Udayana Mengabdi (2017), kehadiran burung hantu jenis Tyto alba dapat menurunkan populasi tikus sampai 70%. Rata-rata seekor burung hantu bisa menangkap antara 3 sampai 5 ekor tikus setiap malam di wilayah teritorinya sekitar 12 Kilometer. Cukup dengan 12 ekor burung hantu yang dilepas itu sudah mampu mengawasi sawah seluas 28 hektare.
Manfaat kehadiran burung hantu mengendalikan populasi tikus diakui dan dirasakan oleh anggota tani Subak Ganggangan dan subak lain sekitarnya. Menurut pengakuan Made Jonita sejak dilepasliarkan burung hantu di persawahan maka hasil panen padi sawah bisa kembali normal. Bandingkan sebelumnya akibat serangan tikus jerami pun kadang tak sempat dipegang, demikian kenangnya.
Namun demikian, ada warga masyarakat itu yang memburu dan menembak burung hantu. Karena itu pimpinan desa Senganan, lalu pada tanggal 15 Mei 2016 mengeluarkan surat keputusan bersama pimpinan desa mengatur tentang larangan mencuri atau mengambil jenis burung dan satwa lainnya dengan acara apapun di wilayah desa Pakraman Pagi. Sanksinya, denda adminitrasi sebesar sepuluh juta rupiah, dan sanksi upakra (Meguru Piduka di Pura Balai Agung).
Setelah memperkerjakan burung hantu membasmi tikus di sawah ternyata burung ini juga membawa berkah dan kabar baik. Berita tentang keberadaan burung hantu ini semakin tersebar luas dan menarik minat perhatian banyak orang yang ingin tahu dan sekalian berwisata datang melihat langsung ke sawah dan ke kandangnya. Tidak sulit untuk menjumpainya di kandang penangkaran. Untuk melihatnya di alam bebas, kita harus menunggu senja tiba.