Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Atasi Kelaparan Dengan Perubahan Radikal Kebijakan Pertanian Dunia

Lutfiyah Hanim – 23 Apr 2008

Jika dunia memang ingin lebih baik menyediakan pangan untuk masyarakat miskin dan mengatasi kelaparan karena peningkatan populasi dan perubahan iklim, sambil mengatasi masalah lingkungan dan mencegah masalah sosial, diperlukan perubahan radikal. Demikian pesan dari laporan komprehensif lebih dari 400 ilmuwan di seluruh dunia yang tergabung dalam Kajian Internasional Tentang Ilmu dan Teknologi Pertanian untuk Pembanguna (International Assessment of Agricultural Science and Technology for Development atau IAASTD).

Kajian itu melibatkan 64 negara yang berkumpul dalam pertemuan paripurna antar pemerintah di Johannesburg Afrika Selatan, 9-12 April 2008 lalu.

Laporan tersebut mengkaji cara-cara untuk mengatasi tantangan wilayah institusi, kerangka ekonomi dan hukum dengan mengkombinasikan produktivitas bersama perlindungan dan konservasi dari sumber daya alam seperti tanah, air, hutan, dan keanekaragaman hayati untuk memenuhi kebutuhan produksi.

Prof. Robert Watson, Direktur IAASTD mengatakan, sistem yang berlaku saat ini melayani masyarakat pinggiran secara buruk. “Insentif untuk ilmuwan dalam mengatasi masalah orang-orang miskin juga buruk, kalangan termiskin di negara-negara berkembang adalah pihak yang paling dirugikan dalam banyak skenario liberalisasi perdagangan,” ungkapnya.

Pertanian modern telah memberikan pertambahan yang signifikan dalam produksi pangan. Tetapi manfaatnya menyebar dengan tidak merata dan berada pada harga yang tidak bisa ditoleransi, dengan biaya yang dibayar oleh petani kecil, pekerja, masyarakat pedesaan dan lingkungan.

Dalam siaran pers yang disebarkan, laporan tersebut mengatakan, ”Seringkali kalangan termiskin hanya mendapatkan sedikit atau bahkan tidak mendapatkan apapun, dan 850 juta orang saat ini mengalami masalah kelaparan dan kurang gizi dengan pertambahan 4 juta per tahun. Kita telah meletakkan makanan yang terlihat murah di atas meja tetapi yang tidak selalu sehat dan telah membebani kita dengan biaya pada tanah, air, dan keanekaragaman hayati dimana kita tergantung padanya di masa depan.”

Keinginnan sebagian besar orang untuk mengatasi masalah mendasar dalam mengkombinasikan tujuan produksi, sosial, dan lingkungan dicemari oleh “pendirian ekonomi dan politik yang kontroversial.” Salah seorang wakil ketua di IAASTD, Dr Hans Herren menjelaskan, khususnya ini merujuk pada negara-negara OECD (klub negara-negara kaya) yang sangat menentang perubahan apapun dalam rejim perdagangan atau sistem subsidi. Tanpa adanya reformasi di sini, banyak negara-negara miskin akan menghadapi situasi yang sulit.

“Aktivitas seperti biasanya (business as usual) bukanlah pilihan,” kata Prof. Robert Watson, yang juga ilmuwan ketua pada Departemen Urusan Lingkungan, Pangan dan Pedesaan Inggris. Watson juga pernah menjadi Ketua Panel Antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change atau IPCC). Metodologi yang dijalankan dalam IAASTD mirip dengan yang ada di IPCC.

Pesan dari laporan tersebut adalah aktivitas yang umum dilakukan seperti pertanian skala industri, penggunaan energi dan pupuk yang intensif, marginalisasi petani skala kecil, tidak lagi bisa diterima. Sementara tekanan pada produksi dan hasil telah membawa keuntungan namun di atas biaya lingkungan dan keadilan sosial. Lebih jauh lagi, ada pengakuan bahwa liberalisasi yang tidak proporsional dan cepat dapat berakibat negatif pada ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan lingkungan.

Laporan IAASTD menyatakan perlunya tekanan yang lebih besar untuk melindungi sumber daya alam dan praktik agroekologi, juga upaya untuk membuka jalan pengetahuan tradisional yang dilakukan oleh komunitas lokal dan petani bekerjasama dengan ilmu dan teknologi saat ini. Ini berkaitan dengan pertanian berkelanjutan didasarkan atas keanekaragaman hayati, termasuk agroekologi dan pertanian organik, yang menguntungkan petani miskin dan perlu dukungan kebijakan dan kerangka regulasi yang tepat.

Lebih dari tiga tahun, dari 2005-2007, IAASTD telah melakukan kajian berdasarkan bukti pada pengetahuan pertanian yang potensial, ilmu, dan teknolgi untuk menurunkan kemiskinan dan kelaparan, perbaikan kehidupan pedesaan dan aktivitas yang ramah secara lingkungan, sosial dan ekonomi. Tujuannya adalah mendorong agenda pertanian untuk lima puluh tahun ke depan.

Laporan IAASTD diluncurkan dalam proses sidang pleno antar pemerintah, melibatkan multi pihak, dengan dukungan dari lembaga-lembaga internasional FAO, GEF, UNDP, UNEP, UNESCO, Bank Dunia dan WHO. Dalam proses yang komprehensif, lebih dari 400 penulis yang terlibat dalam kajian dan penyusunan laporan dari seribu ahli di seluruh dunia.

Para ahli yang terlibat dalam kajian terdiri atas orang-orang dari komunitas penelitian, lembaga internasional, organisasi non pemerintah dan industri, walaupun perwakilan dari industri memutuskan untuk tidak terlibat dalam proses.

Laporan terdiri atas lima penilaian sub-global, kemudian ada Laporan Sintesis yang mengintegrasikan temuan-temuan dari laporan sub-global. Laporan Sintesis memfokuskan pada delapan isu yang saling bersilangan (cross cutting) yaitu bio-energi, biotekhnologi, perubahan iklim, kesehatan manusia, manajemen sumber daya alam, pengetahuan tradisional dan inovasi yang berbasis komunitas, perdagangan dan pasar; serta perempuan dalam pertanian.

Sejumlah pemerintah yang hadir, 64 menerima dan menyetujui laporan tersebut dalam pertemuan pleno di Johanessburg. Namun, dalam Sidang Pleno, ditandai dengan ketidaksepakatan pada dua hal mengenai perdagangan dan bioteknologi. Di akhir pertemuan, Kanada, Australia dan Inggris serta Amerika Serikat (AS), tidak menandatangani laporan akhir.

Perwakilan Pemerintah AS dan Australia keberatan dengan kata-kata dalam Laporan Sintesis yang menekankan pada apakah penggunaan tanaman rekayasa genetik (trangenik) atau Geneticalty Modified Organism (GMOs) itu sehat dan aman.

Demikian juga dengan debat mengenai perdagangan yang mewarnai dalam tiga tahun proses IAASTD.

Dalam laporan disebutkan bahwa bioteknologi memiliki peran penting di masa depan, tetapi masih memiliki sejumlah isu-isu yang diperdebatkan. Data atas keuntungan tanaman trasngenik masih bercampur. Laporan juga mencatat bahwa paten atas gen menyebabkan masalah pada petani dan peneliti.

Bagi petani miskin, laporan itu menunjukkan bahwa tanaman transgenik tidak akan berperan penting untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dalam beberapa kasus, penilaian jangka panjang atas risiko lingkungan dan kesehatan serta kerangka regulasi perlu dilakukan.

Hal lain yang tercantum dalam laporan adalah terkait dengan dominasi atas penelitian pengembangan tanaman transgenik oleh industri di atas biaya ilmu pertanian yang lain. Lebih jauh laporan mencatat, petani menghadapi tanggungjawab baru atas tanaman trasngenik, umumnya atas hasil dari ditemukannnya tanaman trasngenik pada tanaman organik dan konvensional, yang kemudian berbuah pada tuntutan paten dan kehilangan sertifikasi organik (karena tercemar tanaman trasngenik).

Industri bioteknologi dan agrokimia yang sebelumnya terlibat penuh dalam proses IAASTD, mengundurkan diri dari proses sebelum sidang pleno. Industri-industri tersebut masih mengklaim bahwa secara umum tanaman transgenik kunci untuk menurunkan kemiskinan dan kelaparan, namun hal itu tidak tercermin dalam laporan.

Di pihak lain masyarakat sipil menerima laporan tersebut. “Pendirian kami sangat anti dengan GMOs, tapi kami setuju dengan laporan dan menerima laporan sintesis karena netral,” kata Van Aken. “Meski kami tidak puas dengan semua laporan itu, tetapi kami setuju dengan konsensus ilmiah yang ada dalam laporan ilmiah tersebut,” lanjutnya.

Sekarang, laporan IAASTD bergerak dari uji ketahanan para peneliti dalam mencari bukti-bukti dan menuliskannya menuju dukungan politik pada para pembuat kebijakan di negara masing-masing.

Sumber: http://www.agassessment.org/index.cfm?Page=Press_Materials&ItemID=11

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *