Ani Purwati dan Sri Widiastuti – 30 Nov 2007
Pemanasan global dan perubahan iklim meningkatkan permukaan air laut akibat mencairnya gunung es di daerah kutub. Cuaca pun berubah secara ekstrim (perubahan suhu, curah hujan, musim). Tumbuhan dan mahkluk hidup tidak mudah beradaptasi termasuk gagal panen akibat turunnya hujan yang berlebihan atau kekeringan panjang serta badai dan topan.
Dalam keadaan tersebut, petani merupakan salah satu pihak yang rentan. Namun sekaligus juga sebagai penyumbang terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Demikian ungkap Kustiwa Adinata sebagai Koordinator Program IPPHTI Nasional di sela acara Seminar Perubahan Iklim dan Munas III IPPHTI di Garut, Jawa Barat (21/11).
Menurut Kustiwa, kadar garam daratan pesisir sebagai lahan pertanian petani menjadi meningkat karena naiknya permukaan air laut. Akibatnya petani tak mampu bertanam sebagaimana mestinya.
Di pihak lain petani juga menyumbang emisi gas rumah kaca (greenhouse gases) penyebab pemanasan global dan perubahan iklim melalui kegiatan bertanam yang tidak ramah lingkungan. Penggunaan pupuk sintetis (kimia) pada lahan pertanian dapat meningkatkan emisi gas tersebut (NH3) di atmosfir. Demikian pula praktik pembakaran hutan saat pembukaan lahan baru.
Kemudian penggunaan air yang tergenang terus mengakibatkan Fe tidak bisa bersatu dengan udara dan menyebabkan keasaman tinggi, tanaman mudah sakit, perkembangan anakan tidak maksimal sehingga produksi rendah. Praktik bertani yang tidak ramah lingkungan juga mengakibatkan tanah makin rusak, kering, pecah-pecah (bantat) sehingga tidak mampu menyimpan air dan menimbulakan ketidakseimbangan ekosistem (biota tanah atau ekosistem sawah berubah).
”Awalnya petani tidak menyadari kondisi tersebut. Namun akhirnya petani menyadarinya dan bersedia bertindak dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim,” kata Kustiwa.
Salah satunya melalui aksi pembubuhan sejuta pernyataan dan tandatangan di atas bentangan kain sepanjang sekitar 20 meter di sela Munas III tersebut yang akan disampaikan kepada Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia dan PBB saat Konferensi Perubahan Iklim di Bali Desember nanti (3-14 Desember 2007).
Selain itu menurut Kustiwa, perlu upaya adaptasi dari petani karena perubahan iklim dan dampaknya pasti terjadi. Di antaranya dengan melakukan praktik pertanian ekologis yang ramah lingkungan seperti pertanian organik yang tanpa bahan kimia. Sehingga mampu mengurangi kerusakan tanah dan udara (kelembaban terjaga), serta penggunaan air sangat berkurang.
Padi tahan air asin
Petani pun berupaya tetap bertanam di atas lahan pesisir yang berkadar garam lebih tinggi. Petani dapat melakukannya dengan jenis tanaman padi yang tahan atau toleran air asin. Hasil dari studi lapang penanaman di lahan bekas tsunami yang tumbuh dengan baik pada kadar garam antara 48-50 ppm.
Petani yang tergabung dalam Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI) di Aceh, Medan, Pangandaran dan Tasikmalaya telah mengembangkannya. Jenis padi tahan air asin tersebut berasal dari India, yaitu intras bun, intras daso, intras kaba, dan intras luba. Jenis padi ini dapat berumur lebih pendek (100 hari) dibanding saat tanam di India yang berumur hingga enam bulan.
Menurut Yus (Petani Pangandaran) di sela pameran gelar teknologi petani IPPHTI yang berlangsung 19-23 November 2007, jenis padi tahan air asin dengan praktik tanam sistem SRI ini, di Pangandaran telah melalui satu musim tanam dengan jumlah hasil produksi intras bun 3,6 ton/ha, intras paso 6,08 ton/ha, intras kaba 4,8 ton/ha, dan intras luba 3,09 ton/ha.
Sistem SRI
Selain mampu beradaptasi dengan lahan dengan kadar garam yang lebih tinggi, jenis padi ini juga ditanam petani dengan praktik bertani yang ramah lingkungan. Sehingga mampu meningkatkan produksi pula dibanding hasil produksi praktik bertani konvensional yang lebih lambat dan sedikit jumlahnya.
Untuk mengawali praktik tanam SRI ini menurut Yus, terlebih dulu dilakukan seleksi benih dengan air garam sebelum semai. Hasilnya, benih yang tenggelam adalah baik untuk disemai dan ditanam. Lalu benih yang tenggelam itu disebar untuk penyemaian di besek (wadah dari anyaman bambu, red) yang berisi tanah dan pupuk organik yang basah oleh air. Penyemaian berlangsung selama 7-10 hari.
Setelah itu satu per satu batang tanaman padi yang masih ada kantong bijinya ditanam di lahan basah sedikit tergenang air dengan jarak sekitar 30 sentimeter. Lahan yang dikelilingi saluran air itu telah mengalami perlakuan pencangkulan, pembajakan saat basah, perataan lalu dikeringkan dan diberi pupuk kandang (1 ha lahan membutuhkan 6-7 ton pupuk kandang).
Selama masa tanam, perlakuan pada tanaman padi tersebut yaitu setelah berumur 1 minggu – 10 hari pemberian pupuk cair, mikroorganisme lokal (mol), atau urin sapi, dan kotoran domba yang telah difermentasi dulu untuk menambah unsur hara. Juga dilakukan penyiangan dengan membersihkan rumput sehingga mampu merangsang akar baru (ingá tiga kali penyiangan). Lalu pemberian pestisida nabati bila ada hama seperti walangsangit yang digunakan adalah nimba, sirsak dengan tembakau, atau kapulaga.