Lutfiyah Hanim/Daniel Chrisendo – 15 Apr 2011
“Selama pemerintah belum mencabut ijin pertambangan di Laiwangi Wanggameti, selama itu pula akan ada penolakan dari masyarakat lokal dan masyarakat sipi,l” demikian tegas Siti Maimunah, salah seorang aktivis yang kritis terhadap isu-isu pertambangan di Indonesia.
Aktivitas pertambangan seperti tambang emas, kerap menimbulkan konflik dengan masyarakat lokal. Seperti yang terjadi pada perusahaan pertambangan emas di Pulau Sumba (Propinsi Nusa Tenggara Timur).
Awalnya, pada tahun 1998, PT BHP (Broken Hill Property) mendapatkan kontrak karya (KK) ijin pertambangan emas dan mineral ikutannya di Wanggameti – Pulau Sumba. Luas konsesi KK yang diberikan 160180 hektar. Saat itu warga telah melakukan penolakan atas ijin tersebut. Tahun 2008, KK tersebut dihentikan oleh pemerintah. Kontrak karya adalah ijin yang diberikan oleh pemerintah pusat.
Tapi pada tahun yang sama, 2008, pemerintah daerah Kabupaten Sumba Timur memberikan kuasa pertambangan (KP) kepada PT Fathi Resources dengan luas konsesi 3.313 km persegi untuk menambang emas dan mineral ikutannya. Perusahaan yang 80 persen sahamnya dimiliki oleh Hillgrove Resouces Australia mendapatkan ijin usaha pertambahan atau IUP pada November 2009 selama 10 tahun. Kuasa pertambangan dan ijin usaha pertambangan bisa diberikan oleh bupati jika wilayahnya berada di satu kabupaten, jika wilayahnya melingkupi lebih dari satu kabupaten diberikan oleh gubernur.
Ijin kuasa pertambangan diberikan untuk dua kawasan, yaitu Masu Project yang sebagian berada di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti (Sumba Timur) dan Tana Daro Project yang berada di Sumba Barat.
Kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti memiliki luas 47014 ha disahkan berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 576/Kpts-II/1998. Ini memperkuat keputusan menteri kehutanan no 893/KPTS-II/1983 mengenai tata Guna Hutan Kesepakatan yang memutuskan kawasan Laiwangi Wanggameti sebagai kawasan lindung. Keputusan yang juga kontroversi bagi masarakat lokal, karena beberapa desa berbatasan langsung dan bahkan ada desa-desa yang berada di dalam kawasan lindung.
Dengan adanya surat keputusan tersebut, ada pembatasan kegiatan masyarakat lokal yang berada di sekitar hutan, karena ketetapan untuk tidak mengadakan aktivitas di kawasan konservasi. Padahal, selain menjadi hunian bagi banyak flora dan fauna yang beraneka ragam, kawasan tersebut menjadi sandaran hidup bagi masyarakat yang tinggal di 16 desa di disekitarnya.
Kawasan taman nasional tersebut juga menjadi sumber mata air. Beberapa sungai seperti sungai (daerah aliran sungai – DAS) Kambaniru, Luku Lungan, Luku Kanabu wai dan Luku Melolo berhulu disana. Bahkan DAS Kambaniru yang mencakup sekitar 184 ribu hektare dan DAS Melolo sekitar 24 ribu hektar menjadi sumber penting bagi sektor pertanian dan air minum masyarakat sekitar.
Situs departemen kehutanan menuliskan, di sekitar Taman Nasional Laiwangi-Wanggameti banyak dijumpai kuburan kuno yang diukir motif seperti kuda, kerbau, dan orang. Kuburan ini menjadi simbol dan status sosial dari keluarga. Bagi masyarakat lokal, hutan menjadi tempat yang sakral.
Demikian pentingnya, kawasan tersebut, sehingga penambangan yang dilakukan di dalam taman nasional tersebut menimbulkan kontroversi. Siti Maimunah yang juga sekarang menjadi koordinator dari Civil Society Forum menjelaskan bahwa dalam proses eksplorasi, tanah telah digali, untuk pengambilan ratusan sampel di tempat yang berbeda-beda, kemudian untuk pengambilan bahan mentah emas atau bahan tambang yang berada di dalam, perusahaan tambang akan menggali dan membuka lahan hutan. Selanjutnya dalam proses produksi, tambang emas memerlukan air dalam jumlah yang sangat besar. Minimal diperlukan 100 liter air untuk menghasilkan 1 gram emas. Itu pun belum termasuk jika ada perumahan karyawan yang juga membutuhkan air bersih; terakhir, proses tambang emas akan menghasilkan limbah yang mencemari daerah sekitarnya.
Selain pemberian ijin pertambangan di dalam kawasan lindung juga menjadi tidak konsisten dengan pelarangan dan pembatasan aktivitas masyarakat oleh pemerintah di dalam hutan yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi.
Tahun 2010 misalnya, ratusan warga dari 7 desa sekitar taman nasional yang juga didukung berbagai kalangan masyarakat sipil melakukan aksi demonstrasi selama 4 hari dari tanggal 7 hingga 11 Mei 2010, di depan kantor Bupati Sumba Timur, salah satu otoritas yang mengeluarkan ijin penambangan pada perusahaan tersebut.
Selasa lalu (12 April 2011), JATAM (jaringan Advokasi Tambang) dan JPIC, Putra Sumba kembali mengeluarkan rilis mengenai pertambangan di kawasan Laiwangi Wanggameti.
Diantara tuntutannya adalah meminta pemerintah dan DPR mencabut atau merombak total UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang dianggapnya sebagai biang keladi atas persoalan tambang di kawasan lindung. Serta meminta pemerintah untuk menetapkan kawasan Laiwangi-Wanggameti dan Pulau Sumba secara keseluruhan sebagai daerah bebas dari pertambangan.
Sumber:
1. Situs : http://www.jatam.org
2. Petrus Domu Wora dan Rambu Raing, Inisiatif Tata Kelola Bersama Taman Nasional Laiwanggi Wanggameti di Kabupaten Sumba Timur, dimual dalam Warta Tenure 03 diambil dari situs www.wg-tenure.org/file/Warta_Tenure/Edisi_03/Warta_Tenure_03g_aksiTNLW.pdf diakses pada 14 April 2011
3. KMPH Ujung Tombak Pelestarian Hutan, 26 Juli 2009 diakses dari situs http://kupang.tribunnews.com/31750/KMPH Ujung Tombak Pelestarian Hutan pada 14 April 2011.