Ani Purwati – 07 Dec 2007
Sejauh ini perundingan yang terjadi di dalam forum Konferensi Perubahan Iklim PBB hanyalah bisnis. Tak ayal hanya nuansa keuntungan bisnis yang menyelimutinya. Akankah keuntungan itu menyentuh masyarakat adat (Indigeneous People).
Dalam keterangannya Tim Delegasi Indonesia menyatakan bahwa masyarakat adat yang berbadan hukum akan tetap bisa mengakses sumber daya alam di hutan tanpa menebang pohon dan mendapatkan keuntungan dari proyek Reduction Emissions from Deforestasion and Degradation (REDD) tersebut.
Di sini jelas masih ada pertanyaan, masyarakat adat yang berbadan hukum? Bagaimana dengan yang tidak berbadan hukum. Kalaupun masyarakat adat bisa mendapatkan status badan hukum tersebut, bagaimana prosedurnya? Akankah semudah membalikkan sebelah tangan?
Jelas masyarakat adat tidak setuju dengan ketentuan badan hukum itu. Menurut Hubartus Samangan sebagai Pimpinan Masyarakat Adat Tanibar, Maluku, setelah aksi tutup mulut bersama masyarakat adat sedunia yang berjumlah sekitar 20 orang di pelataran Hotel Westin, Nusa Dua, Bali, Jumat (7/12), masyarakat adat tidak perlu diatur dengan ketentuan badan hukum. Sebagaimana selama ini mereka secara turun menurun mewarisi lahan dan sumber daya alam dengan kearifan lokalnya dari nenek moyangnya.
“Bagaimana sebuah perkampungan masyarakat harus berbadan hukum,” ungkapnya.
Sehingga pihaknya yakin bahwa REDD hanya akan menguntungkan perusahaan dan broker. Sedangkan pemerintah sangat kecil akan mendapatkan keuntungan apalagi masyarakat adat.
“Mereka hanya memperdagangkan sesuatu yang tidak diketahuinya dalam carbon trading. Siapa yang bisa menghitung karbon,” tegas Samangan.
Alih-alih mendapatkan keuntungan, kesempatan menyampaikan pendapat di forum internasional perubahan iklim di Bali ini saja tidak mereka dapatkan. Menurut Samangan, aksi tutup mulut masyarakat adat sedunia yang tergabung dalam The International Forum of Indigenous Peoples on Climate Change (IFIPCC) merupakan bentuk kekecewaan atas tidak diperhatikannya aspirasi mereka di forum konferensi perubahan iklim atau climate change di Bali ini.
“Kami tutup mulut berarti kami ada tetapi tidak didengar. Mereka bicara tentang hutan tapi kami tidak dilibatkan,” tegas Samangan.
Para masyarakat adat yang datang dari seluruh penjuru dunia ini (Indonesia, Nigeria, China, Kongo, Meksiko, Philipina dan lainnya) yang telah siap dengan makalahnya tidak diberi kesempatan untuk menyampaikannya. Yang menyedihkan menurut Samangan, peristiwa sehari sebelumnya. Saat itu masyarakat adat mendapat janji untuk bertemu dengan Eksekutif Sekretaris di Hotel Grand Hyett pada sore hari. Namun di sana tidak ada orang.
Lalu mereka kembali ke Hotel Westin untuk mengikuti pertemuan konferensi. Sekali lagi mereka tidak dapat mengikutinya dengan alasan sudah penuh.
“Kami minta bisa masuk di dalam setiap negosiasi climate change ini. Hidup kami seperti manusia lainnya akan merasakan dampak perubahan iklim ini. Tapi kami menyayangkan kesempatan itu tidak ada,” kata Samangan.
Bersama dengan masyarakat adat lainnya, Samangan meminta sidang agar mengakui dan mengakomodasi hak-hak masyarakat adat. Mereka mempunyai kearifan lokal dengan traditional knowledge nya terhadap sumber daya alam untuk dapat menurunkan emisi gas rumah kaca. Salah satunya dengan larangan menebang hutan dan mangrove (sashi di Maluku).
Namun saat ini hutan Tanibar sangat menyedihkan. Dengan banyaknya perusahaan kayu, hutan seluas 342 hektar itu jauh dari kondisi 10 tahun lalu. Tak heran bila dampak perubahan iklim mereka alami juga. Di antaranya masa panen jagung dan ubi yang bergeser menjadi lebih lama, yang seharusnya Februari-Maret sudah panen, ternyata belum juga. Hasilnya pun menurun drastis.
Kekhawatiran dari masyarakat adat bahwa REDD hanya sebuah bisnis karbon dipertegas oleh Hira Jhamtani dari Third World Network yang konsern pada masalah-masalah negara dunia ketiga. Peneliti senior lingkungan hidup dari Indonesia ini mengkhawatirkan bahwa konferensi perubahan iklim ini hanya sebuah konferensi perdagangan karbon.
Dengan perdagangan karbon itu, dikhawatirkan akan menghilangkan kewajiban negara-negara maju untuk menurunkan emisinya. Negara industri penghasil emisi terbesar itu akan berdalih telah menurunkan emisinya setelah membayar proyek REDD dan CDM. Sementara industri dan pola pembangunannya tidak berubah. Sedangkan negara berkembang dengan hutannya harus menanggung beban memelihara hutan dan menjadi pihak yang disalahkan gagal menurunkan emisi karena hutannya rusak.