Disarikan Ani Purwati – 07 Apr 2009
Negara berkembang dan maju berdebat tentang siapa yang bertanggungjawab atas pendanaan perubahan iklim dalam perundingan Ad-Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action (AWG-LCA), sebuah proses negosiasi di bawah Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change-UNFCCC) yang dibentuk untuk membahas apa yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan utama Konvensi. Demikian menurut Meena Raman dari Third World Network yang mengikuti jalannya perundingan dari Bonn, Jerman (2/4).
Beberapa negara maju menekankan aturan sektor swasta dalam menentukan skala sumber pendanaan yang diperlukan. Sementara negara berkembang menekankan komitmen negara maju di bawah konvensi untuk memenuhi kebutuhan pendanaan mitigasi dan adaptasi negara berkembang.
Luiz Machado dari Brazil sebagai pimpinan sidang AWG-LCA mengatakan bahwa ada sejumlah usulan terkait sumber baru dan tambahan untuk perubahan iklim. Ada dua tipe sumber, yaitu dana dan biaya publik dari mekanisme ekonomi seperti melelang unit pinjaman emisi, mengambil dari perjalanan perusahaan penerbangan dan usulan lainnya (Swiss mengusulkan suatu pajak global CO2).
Machado juga mengatakan ada beberapa bentuk perkiraan ketika melihat pendanaan adaptasi yang berasal dari dana publik, sedangkan biaya untuk mitigasi mencakup keduanya, public dan pribadi.
Philipina atas nama G77 dan China mengatakan bahwa usulan pendanaan G77 dan China memberi fleksibilitas dalam pengamanan pembiayaan adaptasi.
Uganda atas nama least developed countries (LDCs) menyampaikan bahwa pembiayaan merupakan komitmen dan tidak sumbangan. Pembiayaan untuk perubahan iklim oleh public, sector swasta dapat melengkapi.
Afrika Selatan atas nama Kelompok Afrika mengatakan bahwa pendanaan merupakan komitmen dan titik awal pelaksanaan diberitahukan oleh nilai inti. Tingkat tindakan negara berkembang tergantung pada tindakan negara maju. Rata-rata pelaksanaan adalah tentang teknologi, pembiayaan dan pengembngan kapasitas. Ada kebutuhan untuk membicarakan tentang pendekatan mencapai skala pendanaan yang diperlukan dan jenis mekanisme kelembagaan yang diperlukan untuk mencapainya. Perlu mendapat persetujuan tentang pengaturan kelembagaan.
Barbados atas nama AOSIS mengatakan bahwa G77 dan China telah mengusulkan suatu konvensi pendanaan. Sedangkan usulan Swiss seperti ide dana untuk asuransi. Barbados mengatakan bahwa adaptasi memerlukan pendanaan besar-besaran dan ini tidak bisa dikerjakan oleh sektor swasta.
Norwegia menjelaskan usulannya tentang pendanaan melalui lelang satuan emisi gerak yang diperbolehkan (assigned amounts units – AAUs) dimana dapat menghasilkan pembiayaan baru dan tambahan. Usulan ini untuk melelang atau menjual bagian emisi. Dijelaskan bahwa nilai lelang AAU itu tidak terukur. Jika para pihak setuju batas kenaikan suhu kurang dari 20 C, mungkin bisa bernilai 2000 – 3000 milyar dolar. Nilai dari lelang itu adalah 1000 milyar dolar dan 1% nya berarti 10 milyar dolar. Jika kesepakatan batas kenaikan suhu sampai 20 C, maka nilai AAU adalah 100 dolar per ton dan jika mencapai 3o C peningkatan, nilainya setengahnya.
Norwegia mengatakan bahwa negara-negara industri yang akan membayar dan mempunyai pinjaman cuma-cuma. Intinya siapa pengotor adalah pembayar.
Swiss mengatakan bahwa usulan itu lebih memperhatikan pembiayaan adaptasi. Usulan itu menyarankan pajak karbondioksida global (CO2). Skenario Swiss adalah 50 milyar per tahun bisa dihasilkan untuk adaptasi. Gagasannya adalah retribusi global untuk semua emisi CO2. Tingkat pajak yang diusulkan adalah 2 dolar per ton CO2. Usulan itu berdasar pada prinsip umum tetapi berbeda tanggungjawab dan prinsip biaya pengotor. Uang akan disampaikan pada negara berkembang. Yang termiskin, dimana emisinya hanya 1,5 ton CO2 akan dibebaskan dari pajak.
Namun menurut India pembiayaan dari sektor swasta hanya bersifat komersial yang bukan termasuk dalam kegiatan adaptasi dan mitigasi. Kesepakatan konvensi merupakan biaya penuh hasil komunikasi negara berkembang dan sepenuhnya untuk biaya mitigasi dan adaptasi. Jika biaya-biaya awal merupakan penanaman modal maka pada akhirnya memerlukan biaya yang harus dikembalikan.
China mengatakan bahwa penting untuk melihat tujuan pembiayaan, sumber dan pemerintah. Tujuan merupakan bahan komitmen negara maju dan pelaksanaan konvensi. Untuk sumber, berasal dari publik atau swasta. Itu sangat penting untuk memahami aturan bagi sektor publik dan swasta. Mereka mempunyai aturan yang berbeda khususnya ketika membahas manfaat publik global dan luar. Diperlukan suatu desain instrumen kebijakan untuk mengalirkan dana ke tujuannya.
Jepang mengatakan bahwa tidak ada sumber pendanaan tunggal yang dapat menyelesaikan masalah skala sumber yang diperlukan. Untuk pembiayaan teknologi, sekitar 86% pembiayaan datang dari sektor swasta. Menurutnya usulan G77 bersama China dan Norwegia menarik.
Australia mengatakan perlunya menghindari pembiasan mekanisme pembiayaan. Menurut EU bahwa baik pendanaan publik maupun swasta diperlukan dan aturan pasar penting.
Perundingan yang diselenggarakan oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) tersebut berlangsung pada 29 Maret – 8 April 2009 di kota Bonn, Jerman. Perundingan dilakukan di bawah dua proses, yaitu Ad-Hoc Working Groups for Long Cooperative Action (AWG-LCA) dan Ad-Hoc Working Group on further commitments for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP), sebuah working group yang dibentuk untuk membahas komitmen penurunan emisi gas rumah kaca oleh negara-negara maju setelah tahun 2012.
Sumber: http://www.twnside.org.sg/