Lutfiyah Hanim
Jagung adalah salah satu tanaman penting di Pulau Madura, selain padi, tembakau, kacang-kacangan dan lainnya. Varietas Jagung lokal masih menjadi pilihan utama bagi petani-petani di daerah tersebut. Kasryno, et al (2005) menyebutkan, 90 persen petani di Madura masih menggunakan varietas jagung lokal. Di tengah penawaran gencarnya promosi para perusahaan benih jagung hibrida maupun komposit, dan dukungan pemerintah melalui berbagai program penananaman varietas baru, tentu menarik untuk mengetahui rahasia keunggulan jagung lokal Madura.
Di akhir bulan September 2014 lalu, saya hadir dalam diskusi di kelompok tani di satu desa di kabupaten Sampang Madura. Lokasi diskusi diadakan di Balai Desa yang teletak sekitar 3 kilometer dari garis pantai di daerah Camplong. Menuju ke Balai Desa, kami melalui jalan aspal dan sebagian lagi sedang dalam proses pengaspalan. Walaupun masih jam Sembilan pagi, sinar matahari terasa panas di kulit dan udara kering. Suasana musim kemarau terlihat, debu-debu menutup daun-daun tanaman di pinggir jalan, dan ladang-ladang yang kering. Tetapi ada beberapa pemandangan menyejukkan di tengah musim kemarau, tanaman sayur yang menghijau, jagung dan air yang mengalir di pematang sawah.
Data kabupaten Sampang (Sampang Dalam Angka 2012) menyebutkan Daerah Camplong terletak di ketinggian 6 meter diatas permukaan laut (DPL). Dengan iklim kering, curah hujan 930 mm per tahun pada 2011.
Diskusi petani ini dihadiri perempuan dan laki-laki berjumlah 20 orang. Acara berlangsung informal, dan peserta laki-laki dan perempuan aktif bertanya, memberikan komentar dan pandangan, serta saling menjawab satu sama lain.
Kembali ke upaya melihat rahasia jagung lokal Madura, para petani yang hadir juga menanam jagung. Mereka menanam jagung di sawah tadah hujan dan sawah yang beririgasi, bahkan ada yang menanam di pekarangan, pinggir sawah.
Ada dua varietas lokal yang ditanam yaitu elos dan kretek. Salah seorang petani mengambil contoh jagung, tapi hanya jagung kretek yang dibawanya. Jagung kretek, memiliki tongkol dan biji yang kecil dibandingkan dengan jenis hibrida, biji berwarna kuning, dengan panjang tongkol sekitar 10 cm. Sementara untuk Jagung Elos, petani menyebutkan memiliki karakteristik yang mirip, tapi menghasilkan tongkol yang lebih panjang, katanya, sekitar 15 – 17 cm. Umur kedua jagung itu sama, 70 hari.
Petani dalam diskusi tersebut juga mengenal beberapa jagung unggul, seperti bisma, srikandi, dan beberapa jenis jagung hibrida, seperti produk Bisi dan Pioneer. Namun demikian petani masih tetap menanam jagung varietas lokal. Mengapa?
“Rasanya enak dan tidak keras”, kata seorang peserta perempuan dengan cepat. Ini rahasia pertama. Di tengah kepungan budaya makan beras, orang Madura dikenal masih mempertahankan makan jagung yang dibuat berbagai panganan, seperti nasi jagung, atau mencampurnya dengan beras. Karena itu, rasa menjadi salah satu komponen pilihan varietas jagung yang akan ditanam. Para petani mengakui mereka juga menyukai makan beras, namun jagung adalah makanan yang tidak boleh ketinggalan, karena menurut mereka, “sudah kebiasaan. Selain itu ada anggapan kalau belum sarapan nasi jagung nggak kuat kerjanya. Jagung dianggap lebih sehat, dan sudah turun temurun.”
Dalam terbitan Katalog Plasma Nutfah Jagung (Balitserealia, 2005), jagung jenis kretek dan elos, yang ditemukan berbagai tempat di Indonesia, berjenis jagung pulut. Sementara kebanyakan benih jagung hibrida yang beredar adalah jagung jenis gigi kuda yang keras.
Para petani menanam jagung untuk dimakan sendiri. Beberapa petani pernah menanam jagung hibrida, tapi sebagian besar dijual. Kalaupun dimakan, menurutnya hanya enak untuk jagung bakar. Selain itu, jagung lokal juga digunakan untuk pakan ternak, seperti ayam. Jagung hibrida menurut para petani tidak disukai oleh ayam, karena bijinya besar-besar dan keras. Sementara jagung lokal bijinya lebih kecil, sehingga ayam dan burung bisa juga memakannya.
Dari dua varietas lokal yang ada, para petani lebih banyak menanam jagung kretek daripada jagung elos. Namun, menurut para petani dalam diskusi tersebut lebih menyukai jagung elos. Karena jagung Elos memiliki produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan jagung kretek. Jika dirawat dengan baik, para petani bisa menadapatkan panen jagung elos sekitar 3,5 ton per hektare, sedangkan jagung kretek hanya sekitar 2,5 ton per hektare.
Sementara untuk jagung hibrida, petani mungkin kurang memiliki banyak pengalaman dalam menanam jagung hibrida, sehingga tidak bisa spesifik menyebut hasil panenannya.
Tetapi para petani lebih banyak menanam jagung kretek karena benihnya lebih mudah diperoleh. Selama ini petani mendapatkan benih kedua varietas lokal tersebut dengan cara menyimpan sebagian kecil dari panenannya, beberapa saling bertukar dengan petani lain, atau meminjam dari petani lain dan mengembalikannya setelah panen.
Sementara benih jagung hibrida jika dibeli dari toko harganya berkisar Rp.50 ribu sampai Rp.75 ribu. Selama ini beberapa petani mendapatkan benih jagung hibrida dari pemerintah setempat melalui bantuan benih. Selain itu, hasil jagung hibrida tidak bisa dibenihkan untuk ditanam kembali, karena keturunan keduanya akan menghasilkan panenan yang lebih sedikit jumlahnya. “Mungkin hanya separuh tongkol yang terisi biji”, kata petani.
Biasanya petani menanam jagung bergantian dengan tanaman lain, yaitu padi, tembakau, kacang-kacangan. Dan seringkali menanamnya secara bersama-sama (tumpangsari) dengan berbagai macam tanaman lain, seperti sayur-sayuran, dan singkong.
Jagung lokal Madura dikenal tahan kering, dan umurnya pendek 70 hari. Ini cocok dengan topografi Pulau Madura yang kering dan curah hujan yang rendah. Sementara, jagung hibrida memerlukan perawatan yang lebih intensif, lebih memerlukan air dan umurnya panjang mencapai 95 hari.
Dalam budidaya jagung lokal, beberapa hambatan yang ditemui petani adalah cuaca yang tidak menentu, seperti kemarau yang terlalu panas, penanaman yang dianggapnya tidak tepat waktu. Jagung lokal juga kadang-kadang diserang penyakit bulai, namun menurut pengalaman petani, hanya sebagian kecil saja yang terkena penyakit yang disebabkan oleh cendawan tersebut.
Bagi petani, tanaman jagung tidak hanya untuk manusia, batang dan daunnya digunakan untuk pakan ternak. Terutama untuk ternak, petani akan berupaya menanam jagung, walaupun hasilnya tidak maksimal, demi sapi dan kambing yang dipeliharanya.”Walaupun gagal panen, masih disyukuri, kalau gagal panen, pangan manusia masih bisa beli di toko. Tapi pakan seperti rumput nggak ada yang jual”, kata Mat Sadin, salah seorang petani jagung.
Setelah panen, petani biasanya akan menyimpannya, selain untuk benih juga konsumsi sendiri dan pakan ternak. Keunggulan jagung lokal, adalah lebih tahan simpan dibanding jagung hibrida. Berdasarkan pengalaman, jagung lokal dapat disimpan bisa lebih dari setahun, minimal sampai musim berikutnya. Petani di Madura menyebutnya, tahan hama kutu gudang. Sementara jagung hibrida, dalam satu bulan, sudah mulai rusak dan kemudian menjadi bubuk alias mudah terkena kutu gudang.
Demikian juga ketika jagung digiling atau ditumbuk untuk dibuat nasi jagung. Dari 1 kg jagung lokal yang digiling, hanya 1/3 kg menjadi dedak. Sementara untuk jagung hibrida, lebih dari 50 persen menjadi dedak.
Dengan kelebihan yang dimiliki oleh jagung lokal, dari varietas hibrida maupun komposit, dianggap belum cukup menutupi ‘kekurangan’ varietas lokal, yaitu produktivitas. Sampang dalam Angka (2012) mencatat, produktivitas jagung rata-rata sebesar 1,5 ton per hektare. Alih-alih mengembangkan potensi jagung varietas lokal, pemerintah nampaknya lebih tertarik mengenalkan jenis baru, hibrida dan komposit lokal.
Misalnya, dalam publikasi Kementrian Pertanian jagung di 2012, pemerintah merencanakan memberikan bantuan gratis jagung hibrida. Dengan harapan, panennya memiliki produktivitas rata-rata sekitar 2,0 – 3,0 ton/Ha, dengan areal penanaman seluas 200 ribu hektare.
Introduksi benih jagung hibrida dan varietas baru lainnya terus dilakukan pemerintah dan perusahaan, Misalnya mempromosikan program kerjasama dengan perusahaan. Dimana petani menanam jagung benih, dengan mendapatkan pinjaman, dan kemudian menjualnya kembali ke perusahaan. Harga jual ke perusahaan sedikit lebih tinggi beberapa ratus rupiah daripada memproduksi jagung bukan benih. Tapi kemudian perusahaan akan mengemasnya, memberi warna, dan pengawet lalu menjual benih kembali ke petani jagung dengan harga sekitar 50 ribu – 75 per kg.
Dari diskusi di atas, yang diperlukan oleh petani adalah tersedianya benih jagung lokal elos. Namun yang dilakukan oleh pemerintah adalah mensubsidi benih hibrida dan mengintroduksinya pada petani. Karena itu mungkin pemerintah bisa bekerjasama dengan petani, dengan melibatkan petani dalam program seleksi, perbanyakan dan pemuliaan benih jagung lokal. Sehingga bisa ditemukan varietas yang diidamkan oleh petani, seperti rasanya enak, mudah perawatan, hemat pupuk, tahan penyakit, pendek umurnya bukan hanya varietas yang sekedar produksinya banyak.
Jika benar-benar ingin mencapai kemandirian, maka pengembangan varietas lokal dengan melibatkan petani setempat, adalah keharusan. Bukan menciptakan ketergantungan baru atas input-input pertanian seperti bibit, pupuk dan pestisida.