Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

12 UU Terkait SDA Tumpang Tindih dan Tidak Konsisten

Ani Purwati – 27 Mar 2009

Hasil kajian Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH) menunjukkan adanya tumpang tindih dan inkonsistensi 12 UU terkait sumberdaya alam (SDA) dengan segala dampaknya, baik dari segi normatif maupun empiris. Demikian menurut Tim Kajian saat Pertemuan Nasional Pengarusutamaan Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang dan Pembangunan Daerah yang diselenggarakan KNLH dan Departemen Dalam Negeri (Depdagri), 23-24 Maret 2009 di Jakarta, Senin (23/3).

Yaitu UU No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No.11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No. 27/2003 tentang Panas Bumi, UU No.7/2004 tentang Sumberdaya Air, UU No. 31/2004 tentang Perikanan, UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan UU No.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah.

Menurut Tim Kajian yang terdiri dari Prof. Dr. Maria S. Sumardjono, SH, MCL, MPA, Prof. Dr. Nurhasan Ismail, SH, MSI, dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr dan Ir. Abdullah Aman Damai, MSi bahwa dari segi kelembagaan, tidak ada satu departemen yang mengkoordinasikan kebijakan pengelolaan SDA dan implementasinya.

”Sektoralisme dan pengelolaan SDA sudah mengakar sejalan dengan UU terkait SDA yang berciri sektoral dan ternyata inkonsisten satu sama lain,” jelas Maria S. Sumardjono saat menyampaikan hasil kajian itu di Pertemuan Nasional .

Maria mengatakan, untuk meminimalkan ketidak konsistenan antar berbagai UU sektoral, perlu didorong terbitnya UU tentang Pengelolaan SDA untuk mewujudkan pengelolaan SDA sebagai satu sistem. UU sektoral sebagai sub sistem pengelolaan SDA, harus dilandasi dengan prinsip – prinsip yang digariskan oleh UU tentang Pengelolaan SDA.

Untuk menjamin agar kepentingan sektor tetap terjaga dan ”aturan main” dapat ditegakkan, menurutnya juga perlu dipikirkan keberadaan suatu kementerian yang bertanggung jawab terhadap kebijakan SDA dan implementasinya.

Sementara itu Nurhasan Ismail menjelaskan bahwa adanya pluralitas kepentingan dan nilai sosial dimana rakyat tunduk pada kepentingan negara, padahal seharusnya negara yang harus tunduk pada kepentingan rakyat ditambah dengan pluralitas kelembagaan dan kurang terkoordinasi telah menimbulkan substansi UU yang inkonsisten yaitu semangat antar UU dan konseptual yang berbeda-beda.

Perbandingan antara UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas (UU Migas) dengan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, dari aspek orientasi tekstual produksi dan konservasi, secara kontekstual UU Migas menekankan pada produksi, sementara UU Sumberdaya Air secara kontekstual lebih menekankan pada konservasi.

Dalam akses mengusahakan, secara tekstual UU Migas adalah BUMN atau BUMD, swasta, koperasi, usaha kecil, dengan kontekstual keadilan yang distributif, sedangkan akses mengusahakan UU Sumberdaya Air  adalah badan usaha dan perorangan dengan kontekstual keadilan yang distributif.

Akses memanfaatkan UU Migas secara tekstual adalah badan usaha Indonesia atau asing, negara dan warga dengan kontekstual keadilan yang distributif, sedangkan UU Sumberdaya Air secata tekstual yang memanfaatkan adalah semua kelompok kegiatan dengan kontekstual keadilan yang korektif.

Dari aspek Hak Asasi Manusia (HAM), UU Migas secara tekstual memberi perhatian atas tanah warga adat namun secara kontekstual tidak mengakui masyarakat hukum adat, sedangkan UU Sumberdaya Air secara tekstual mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat dengan kontekstual mengakui hak ulayat secara penuh.

Dengan kenyataan adanya kepentingan masing-masing sektor yang berbeda itu Nurhasan menyarankan agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dapat menjadi lembaga yang mensinkronkan antar kepentingan sektor tersebut dengan mensinkronkan usulan UU masing-masing sektor agar bisa konsisten satu dengan lainnya. Atau ada lembaga sebagai Legal Centre yang memberi masukan pada Dewan tentang konsisten atau tidaknya usulan UU dari sektor-sektor tersebut.

Menurut Ernan Rustiadi, masalah dasar Sistem Peraturan Perundangan Nasional terkait SDA adalah belum adanya kesamaan konsep, sistimatika, pengelompokan atau pengklasifikasian baku yang menjadi landasan bersama bagi pengertian/ nomenklatur terkait dengan objek SDA dan manajemen SDA. Hal itu akan berakibat pada sulitnya mengembangkan struktur atau sistimatika peraturan yang dituangkan dalam bentuk PP.

“Bagaimana akan mengelola sumber daya alam jika pengelompokan dan peristilahannya rancu,” kata Ernan.

Untuk itu Ernan menjelaskan bahwa nomenklatur dalam peraturan perundangan memerlukan suatu pembakuan dan pengklasifikasian istilah tentang SDA dan pengelolaannya, sehingga tidak terdapat banyak kerancuan atau dilakukan penyelarasan istilah.

Sementara itu untuk menyelesaikan incompatibility di tataran fiolosofis, asas dan tujuan-tujuan pengelolaan SDA memerlukan perubahan peraturan perundangan yang mendasar. Incompatibility di tataran fiolosofis dan tujuan-tujuan pengelolaan SDA hanya dapat diselesaikan melalui UU baru mengenai SDA atau penyesuaian-penyesuaian UU.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *