Oleh: Ruddy Gustve, Peneliti KONPHALINDO
Lahan basah dan hutan rawa gambut bisa dijumpai dan tersebar pada hamparan luas di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Ekosistem lahan basah (wetland) ini, belakangan disebut Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) termasuk salah satu kawasan yang mendapatkan perhatian khusus dari berbagai kalangan masyarakat di dalam negeri maupun kalangan internasional karena dianggap rapuh akibat perubahan iklim global. Salah satu masalah serius KHG adalah krisis air (hidrologis) pada musim kemarau panjang kemudian menyebabkan rawan kebakaran.
Hampir setiap tahun terjadi kebakaran lahan gambut menjelang musim kemarau. Peristiwa kebakaran lahan dan hutan paling parah tercatat berlangsung sepanjang tahun 2015 di wilayah Kalimantan Tengah. Seperti telah dilaporkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Kalimantan Tengah dampak kebakaran mencapai luas 2,6 juta hektar, terdiri dari tanah mineral 1,74 juta hektar (67 persen) dan 0,87 juta hektar (33 persen) di lahan gambut. Dibandingkan peristiwa kebakaran hutan dan lahan sepanjang tahun 1997 dampak luas keseluruhan mencapai 9 juta hektar (https://www.bnpb.go.id/evaluasi-bencana-asap–tahun-1997-lebih-parah-dari-2015).
Masalah kebakaran hutan dan ekosistem lahan basah atau KHG setiap tahun sering mendapat sorotan public. Sejalan dengan itu berbagai upaya pengelolaan dan penyelamatan KHG di Indonesia terus dibangun oleh kalangan masyarakat pemerhati lingkungan dan pemerintah pusat. Salah satu provinsi yang ditetapkan sebagai sasaran kebijakan Restorasi Gambut adalah Provinsi Kalimantan Tengah, di wilayah itu terdapat KHG Kapuas-Barito. Status KHG Kapuas-Barito sebelumnya merupakan eks proyek lahan gambut sejuta hektar pada masa pemerintahan Orde Baru.
KONPHALINDO (Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia) dan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup-Perubahan Iklim) PPLH-PI Universitas Kristen Palangka Raya bermitra dengan ICCTF (Indonesia Climate Change Trust Fund) dan UKCCU (United Kingdom Climate Change Unit) mendanai program berjudul Pembasahan dan Pencegahan Kebakaran pada Lahan Gambut dua desa yaitu: Desa Tumbang Mangkutub dan Desa Katunjung, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Tengah. Proyek singkat ini berlangsung dari bulan Juli 2018 dan akan berakhir pada Maret 2019.
Kegiatan Pembasahan dan Pencegahan Kebakaran pada Lahan Gambut yaitu, pembangunan 30 titik sumur pompa di area yang rawan kebakaran lahan, 10 titik sekat kanal tersier dan penanaman kembali di lahan 25 hektar untuk masing-masing desa. Pelaksanaan kegiatan seluruhnya melibatkan tenaga kerja warga desa setempat. Selanjutnya, hasil yang diharapkan dari kegiatan ini mampu mencegah dan mengurangi kebakaran lahan gambut di sekitar wilayah desa.
Selain mencegah kebakaran hutan pada tingkat desa kegiatan ini juga diharapkan dapat menghitung cadangan karbon tersimpan, atau menahan pelepasan massa karbon ke udara. Yang dimaksud cadangan karbon tersimpan itu masih dalam bentuk luasan hutan alam dan perkebunan rakyat, luasan dan kedalaman gambut, dan sistem hidrologi.
Belum seluruh informasi desa tersaji dalam bentuk peta digital, misalnya, Desa Tumbang Mangkutup sampai saat ini belum dicantumkan luas desa dalam dokumen Statistik Kecamatan Mantangai. Menurut dokumen Rencana Kontijensi Badan Restorasi Gambut (BRG) 2017, KHG sungai Kapuas dan Sungai Barito luasnya lebih dari 558 ribu hektar, termasuk dalam wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Barito Selatan, Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas. Status pemanfaatan ruang KHG Kapuas-Barito adalah sebagai berikut: kawasan budidaya berizin seluas lebih dari 22 ribu hektar, kawasan budidaya – kawasan hutan seluas lebih dari 1100 hektar, kawasan budidaya – atau APL (Area Penggunaan Lain) seluas lebih dari 24 ribu hektar, kawasan lindung seluas hampir 125 ribu hektar, kawasan lindung yang terdiri atas Kawasan Suaka Alam/Kawasan Perlindungan Alam/Suaka Margasatwa/Taman Nasional seluas kurang dari 175 ribu hektar.
Aspek sosial-ekonomi
Jika dilihat dari angka perputaran uang terbanyak yang dihasilkan wilayah Kabupaten Kapuas adalah bersumber pada kegiatan usaha pertanian-kehutanan dan pertambangan-penggalian, kegiatan usaha lainnya adalah industri pengolahan. Rata-rata warga desa Tumbang Mangkutup bekerja serabutan, berkebun karet dan menangkap ikan di sungai atau di kanal sungai. Dari hasil usaha tersebut yang bisa menghasilkan uang adalah tanaman karet dan pengawaten ikan, umumnya dijual kepada pedagang terapung (berjualan pakai kapal). Usaha lain yang menggiurkan penghasilannya adalah “merumahkan” burung walet.
Penguasaan lahan rata-rata antara satu sampai tiga hektar per keluarga dan ditanami pohon Pantung (nama setempat) atau Jelutung, getahnya dijadikan komoditi karet. Sementara harga beli dari petani karet tidak stabil harganya akhir-akhir ini tercatat sudah di bawah 10 ribu rupiah per kilogram, berkisar antara 6 ribu – 7 ribu rupiah per kilogram harga setempat, demikian pengakuan salah satu warga desa Tumbang Mangkutup.
Selanjutnya dijelaskan, sulit jual sendiri hasil panen petani ke kota besar sebab jaraknya jauh dan biaya transportasi cukup mahal. Lagi pula tidak ada transportasi publik jadi harus sewa jika ada keperluan ke Kuala Kapuas. Mobilitas arus barang kebutuhan hidup warga desa bergerak dari arah Selatan menuju Utara, yakni dari Kuala Kapuas dan Kota Banjarmasin melalui lalu-lintas Sungai Kapuas. Sementara semakin mahal dan jauh jaraknya ke Ibukota Provinsi Palangka Raya dibandingkan ke Kota Banjarmasin.
Kekayaan sumber daya lahan basah (wetland) atau lahan gambut di wilayah KHG Kapuas-Barito terdapat 82 jenis kayu komersil, 12 jenis rotan, 28 jenis hewan buruan, 35 jenis ikan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas, dan habitat orangutan. Masih banyak jenis tanaman obat-obatan yang belum diidentifikasi.
Kondisi sekarang beberapa jenis kayu sudah sulit ditemukan di wilayah ini karena kegiatan pembalakan kayu dilakukan oleh masyarakat bekerjasama dengan perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), PT. Djajanti Group. Kegiatan pembalakan kayu berlangsung sejak tahun 70an dan berakhir sekitar tahun 90an, seiring dengan pembangunan Mega Rice Project (MRP) atau Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar.
Menurut salah seorang warga desa Tumbang Mangkutup, ketika maraknya kegiatan pembalakan kayu seorang penebang kayu bisa mendapatkan uang tunai minimal 1,3 juta rupiah per meter kubik per hari. Namun berbanding terbalik dengan kondisi saat ini rasanya semakin sulit mendapatkan pekerjaan dan jumlah uang sebesar itu sementara kebutuhan hidup semakin bertambah seiring semakin terbukanya akses desa dengan kota.
Diharapkan dari kegiatan pembasahan sebagian kecil area Blok A – Blok E KHG Kapuas – Barito tersebut dapat mencegah terjadinya kebakaran hutan, dan mendukung pemulihan kualitas keanekaragaman hayati dan peningkatan kualitas kehidupan penduduk setempat. Bagaimanapun, diperlukan komitmen dari para pihak kepentingan untuk melestarikan tata guna lahan gambut dan hutan setempat.(BB/12/18)