Kunci untuk memastikan bahwa dunia akan menghasilkan makanan bergizi yang cukup untuk mengatasi kelaparan dan memberi makan populasi manusia yang terus bertambah ditentukan oleh ketersedian sumber daya genetik tanaman untuk pangan dan pertanian. Pertanian dunia saat ini sangat bergantung pada basis genetik yang terbatas dari sejumlah tanaman pangan dilaporkan semakin terbatas disebabkan sebagian besar keanekaragaman tanaman secara permanen hilang dari permukaan bumi. Isu-isu tersebut dibahas pada tanggal 19-24 September di New Delhi, India dalam pertemuan ke 9 International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (ITPGRFA) – Perjanjian Intenternasional tentang Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian (SDGTPP).
Pertemuan Sesi ke 9 Treaty’s Governing Body (GB – Badan Pengatur Perjanjian) memilih thema “Merayakan Penjaga Keanekaragaman Tanaman: Menuju Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global Pasca-2020 yang Inklusif.” Sebelumnya yakni tiga tahun lalu, pertemuan Sesi Ke 8 Badan Pengatur Perjanjian gagal mencapai kesepakatan tentang langkah-langkah untuk meningkatkan fungsi Perjanjian Sistem Multilateral (Treaty’s Multilateral System – MLS) dari Akses dan Pembagian Keuntungan (access and benefit sharing – ABS).
Pertemuan Sesi ke 9 kali ini mendapat pujian dari sejumlah pihak karena dianggap berhasil membentuk kembali kelompok kerja, dan menyepakati tujuan dan kerangka acuannya. Meskipun dalam kenyataan sumber daya genetik tanaman pangan masih berada di bawah tekanan dan ancaman saat mereka berbicara, demikian kata Yasmina El Bahloul, Ketua GB 9.
Beberapa agenda penting global yang dibahas para delegasi antara lain perjanjian sistem multilateral (MLS) dari akses dan pembagian keuntungan (ABS), hak-hak petani, tindakan darurat untuk mendukung bank gen, dan pemanfaatan berkelanjutan. Yang masih alot perdebatan antar delegasi terutama negara maju dengan negara sedang berkembang terkait masalah perjanjian sistem multilateral (MLS) dari akses dan pembagian keuntungan (ABS) yangmana sampai putaran Sesi ke 8 gagal disepakati.
Selain agenda yang disebutkan di atas agenda yang tak kalah penting adalah pembahasan tentang hak petani. Meski hak petani dalam perjanjian ini hanya mengatur rumusan kerja yang dikembangkan berdasarkan Proyek Hak Petani. Rumusan Hak Petani terdiri dari hak (adat) petani untuk menyimpan, menggunakan, menukar dan menjual benih dan bahan perbanyakan yang disimpan di lahan pertanian, hak mereka untuk diakui, dihargai dan didukung atas kontribusi mereka terhadap kumpulan sumber daya genetik global serta untuk pengembangan varietas tanaman komersial, dan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tentang isu-isu yang berkaitan dengan sumber daya genetik tanaman.
Laporan Ad Hoc Kelompok Ahli Teknis (AHTEG) tentang Hak Petani yang dipimpin oleh Dr. R.C. Agrawal dari India dan Svanhild Isabelle Batta Torhm dari Norwegia menyampaikan dokumen “Pilihan-pilihan untuk mendorong, membimbing dan memajukan perwujudan Hak-Hak Petani sebagaimana diatur dalam Pasal 9”. Daftar pilihan yang ditawarkan Ad Hoc AHTEG Hak Petani terdiri dari 11 Kategori, yaitu:
- Pengakuan kontribusi masyarakat lokal dan masyarakat adat dan petani untuk konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian (SDGTPP), seperti penghargaan dan pengakuan petani penjaga/wali.
- Kontribusi keuangan untuk mendukung konservasi petani dan pemanfaatan SDGTPP yang berkelanjutan seperti kontribusi dana bagi hasil.
- Pendekatan untuk mendorong kegiatan yang menghasilkan pendapatan untuk mendukung konservasi petani dan pemanfaatan SDGTPP secara berkelanjutan.
- Katalog, register, dan bentuk dokumentasi SDGTPP lainnya dan perlindungan pengetahuan tradisional.
- Konservasi di lahan pertanian dan pengelolaan SDGTPP in situ, seperti tindakan sosial dan budaya, pengelolaan keanekaragaman hayati masyarakat dan situs konservasi.
- Fasilitasi akses petani terhadap keragaman SDGTPP melalui bank benih masyarakat, jaringan benih dan langkah-langkah lain yang meningkatkan pilihan petani terhadap keragaman SDGTPP yang lebih luas.
- Pendekatan partisipatif untuk penelitian SDGTPP, termasuk karakterisasi dan evaluasi, pemuliaan tanaman partisipatif dan seleksi varietas.
- Partisipasi petani dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal, nasional dan sub-regional, regional dan internasional.
- Pelatihan, pengembangan kapasitas dan penciptaan kesadaran publik.
- Langkah-langkah hukum untuk pelaksanaan Hak Petani, seperti langkah-langkah legislatif terkait SDGTPP.
- Tindakan/praktik lain.
Mengenai opsi yang disampaikan Ad Hoc ATHG tentang Hak Petani di atas untuk mendorong, membimbing, dan mempromosikan realisasi hak-hak petani sebagaimana diatur dalam Pasal 9, para delegasi terlibat dalam diskusi panjang yang berfokus pada kategori 10. Akhirnya, Ad Hoc AHTEG tentang Hak Petani, mencatat opsi-opsi tersebut, dan meminta Sekretariat untuk menerbitkannya, dengan catatan kaki yang mencerminkan bahwa opsi-opsi di bawah kategori 10 diusulkan oleh Co-Chairs AHTEG.
Selain hal di atas ada usulan meminta kepada Sekretariat untuk mengembangkan rencana kerjasama Selatan-Selatan dan segitiga yang rinci untuk dibahas pada simposium global tentang hak-hak petani yang akan diselenggarakan oleh India. Namun usulan itu tidak diterima dengan berbagai alasan dan rencana ini akan dibahas pada GB 10. Lainnya, pengembangan rencana kerjasama berada di bawah tanggung jawab nasional. Delegasi setuju untuk meminta Sekretariat memfasilitasi pengembangan rencana kerja sama regional di antara para pemangku kepentingan yang berkepentingan, dengan penekanan pada kerja sama Selatan-Selatan, dan termasuk mengacu pada Pasal 18 point 5 Perjanjian (implementasi rencana dan program di negara berkembang).
Pada rancangan resolusi, para delegasi setuju kata untuk “mengundang,” daripada kata “mendorong” pihak-pihak untuk menggunakan opsi, tunduk pada undang-undang nasional dan ketersediaan sumber daya keuangan. Akhirnya, resolusi tentang implementasi Hak Petani berdasarkan Pasal 9 disepakati.
Badan Pengelola (GB) 9 meminta para pihak untuk memperbarui inventarisasi langkah-langkah nasional, praktik terbaik, dan pembelajaran untuk implementasi nasional Hak Petani di bawah Perjanjian, sesuai dengan undang-undang nasional. Sekretariat Perjanjian diminta untuk mempublikasikan opsi-opsi untuk realisasi Hak Petani, termasuk Opsi Kategori 10 (langkah-langkah hukum untuk pelaksanaan Hak Petani), yang dicatat sebagai proposal Co-Chairs, berdasarkan pengalaman India di bawah Undang-undang Perlindungan Varietas Tanaman dan Hak Petani (PPV & Hak Petani), 2001 di mana Hak Petani seimbang dengan Hak Pemulia Tanaman dimasukkan dalam resolusi. GB9 juga meminta Sekretariat Perjanjian untuk memasukkan dalam program kerja multi-tahun (MYPOW – Multi-Year Programme of Work) untuk kemungkinan dampak informasi sekuen digital (DSI) pada Hak Petani.
Nasib Hak Petani Indonesia
Pemerintah Indonesia meratifikasi Perjanjian Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian (SDGTPP) menjadi Undang-undang 4 Tahun 2006. Namun dalam pelaksanaannya seakan terpisah urusan antara pengelolaan materi sumber daya genetik tanaman untuk pangan dengan urusan pengakuan hak petani. Dalam prakteknya tata kelola sumber daya genetik tanaman untuk pangan secara otomatis menjadi tanggungjawab mutlak di tangan pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan, sementara hak petani sebagai pemilik pengetahuan setempat dan pemanfaat sumber daya genetik tanaman untuk pangan masih harus diatur bersama dengan pemerintah sebagai bentuk pengakuan dan penerapan di lapang.
Penerapan pengakuan atas hak petani atas sumber daya genetik tanaman untuk pangan masih sebatas di atas dokumen proyek saja. Sejauh ini penguatan dan promosi kelompok tani umumnya dipraktekan dalam pendekatan pelibatan proyek pemanfaatan sumber daya genetik tanaman pangan sesuai arahan pemerintah. Masih jauh dari harapan kelompok tani diberikan ruang untuk mendiskusikan dan mengambil keputusan bersama dengan pemerintah setempat terkait kebutuhan pemanfaatan sumber daya genetik tanaman untuk pangannya. Umumnya kaum tani masih dianggap belum cukup memiliki kemampuan dan ketrampilan mengikuti perkembangan tata kelola lembaga modern. Salah satu alasan mengapa para perunding Perjanjian Internasional tidak dapat menyepakati definisi tentang Hak Petani karena situasi petani sangat berbeda dari satu negara ke negara lain, begitu pula persepsi tentang Hak Petani. Tanpa definisi resmi tentang Hak Petani, ada ketidakpastian tentang apa yang terkandung dalam konsep tersebut, dan dengan demikian juga bagaimana hak-hak ini dapat diwujudkan. Oleh karena itu, penting untuk membangun landasan pemahaman bersama untuk mengembangkan dialog yang bermanfaat di antara para pihak tentang langkah-langkah yang perlu diambil untuk mendefinisikan hak petani berkaitan dengan pengelolaan sumber daya genetik tanaman pangan. (Penulis Ruddy Gustave, Program Peneliti KONPHALINDO).