5 Aug 2025, Tue

Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ) baru saja mengeluarkan pendapat penasehatnya pada tanggal 23 Juli di Den Haag, Belanda, tentang kewajiban negara sehubungan dengan perubahan iklim dan konsekuensi hukum karena gagal memenuhi kewajibannya selama ini. Perwakilan masyarakat sipil (CSO) seluruh dunia yang hadir saat itu memuji pendapat yang dihasilkan pengadilan ICJ, dalam hal menanggapi permintaan Majelis Umum PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), untuk “membuka jalan menuju keadilan iklim.” Ini adalah ‘momen penting untuk keadilan iklim’, kata Sekretaris Jenderal PBB, AntóNio Guterres setelah pengadilan ICJ menyampaikan pendapat bersejarah tentang kewajiban perubahan iklim negara bagian yang dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim ICJ, Iwasawa Yuji.

ICJ merupakan badan peradilan utama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertugas menyelesaikan sengketa hukum antar negara dan memberikan pendapat hukum kepada organ-organ dan badan khusus PBB. Inti pendapat penasehat yang dibacakan oleh Ketua ICJ bahwa, negara-negara yang gagal menekan bahan bakar fosil dapat diperintahkan untuk membayar ganti rugi, atau kata lain mereka yang gagal mencegah kerusakan iklim dapat digugat dan dipertanggungjawabkan atas kompensasi dan restitusi.

Atas dasar apa pengadilan ICJ memberikan pendapatnya? Menurut UN News yang dimuat di webistenya menjelaskan pengadilan ICJ menggunakan komitmen Negara-negara Anggota terhadap perjanjian lingkungan dan hak asasi manusia untuk membuat keputusan ini. Pertama, Negara-negara Anggota merupakan pihak dalam berbagai perjanjian lingkungan, termasuk perjanjian lapisan ozon, Konvensi Keanekaragaman Hayati, Protokol Kyoto, Perjanjian Paris, dan banyak lagi, yang mewajibkan mereka untuk melindungi lingkungan bagi manusia di seluruh dunia dan generasi mendatang. Tetapi, juga karena “lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan merupakan prasyarat untuk menikmati banyak hak asasi manusia,” karena Negara-negara Anggota merupakan pihak dalam berbagai perjanjian hak asasi manusia, termasuk Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, mereka diwajibkan untuk menjamin kenikmatan hak-hak tersebut dengan mengatasi perubahan iklim.

Moment ini dilatar belakangi kasus pada bulan September 2021, Negara Vanuatu di Kepulauan Pasifik mengumumkan bahwa mereka akan meminta pendapat penasihat dari Pengadilan tentang perubahan iklim. Inisiatif ini diilhami oleh kelompok pemuda Pacific Island Students Fighting Climate Change, yang menggarisbawahi perlunya bertindak untuk mengatasi perubahan iklim, khususnya di Negara-negara kepulauan kecil. Setelah negara tersebut melobi Negara-negara Anggota PBB lainnya untuk mendukung inisiatif ini, pada tanggal 29 Maret 2023, negara tersebut mengadopsi resolusi yang meminta pendapat penasihat dari ICJ atas dua pertanyaan: (1) Apa kewajiban Negara-negara di bawah hukum internasional untuk menjamin perlindungan lingkungan? dan (2) Apa akibat hukum bagi Negara-negara yang berada di bawah kewajiban tersebut jika merugikan lingkungan?

Meskipun pendapat penasihat ICJ tidak mengikat secara hukum masing-masing negara, tetapi mereka membawa otoritas hukum dan moral yang signifikan dan membantu memperjelas dan mengembangkan hukum internasional dengan menetapkan kewajiban hukum Negara. Ini adalah kasus terbesar yang pernah dilihat oleh ICJ, gelar pendapat berlangsung dari tanggal 2 sampai 13 Desember 2024, tercatat 91 pernyataan tertulis dan 97 Negara Bagian yang berpartisipasi dalam proses lisan.

Pendapat penasehat ICJ menggarisbawahi peran Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim dalam menyediakan ilmu pengetahuan terbaik yang tersedia. Selain itu diingatkan bahwa setiap kenaikan masalah pemanasan global dan pemanasan sebesar 1,5ºC tidak dianggap aman bagi sebagian besar negara, komunitas, ekosistem, dan sektor. Merujuk pada hasil keputusan yang diadopsi oleh Konferensi Para Pihak (COP) yang berfungsi sebagai Pertemuan Para Pihak dalam Perjanjian Paris, Mahkamah Internasional menganggap ambang batas adalah 1,5ºC.

Namun ada kewajiban yang harus dipenuhi berdasarkan Perjanjian Paris, ICJ menekankan bahwa persiapan Nationally Determined Contribution (NDC) saja tidak cukup, para pihak dalam Perjanjian Paris harus melakukan yang terbaik untuk memastikan NDC masing-masing mewakili ambisi setinggi mungkin. Pengadilan juga menetapkan bahwa NDC harus, jika disatukan, mampu mencapai tujuan suhu dan tujuan Perjanjian, dan para pihak berkewajiban untuk melakukan upaya terbaik untuk mencapai NDC mereka.

Selanjutnya, pengadilan menetapkan bahwa tanggung jawab Negara atas pelanggaran kewajiban dapat diajukan oleh Negara mana pun berdasarkan hukum kebiasaan internasional. Ini menggarisbawahi bahwa kegagalan suatu Negara untuk mengambil tindakan yang tepat untuk melindungi sistem iklim dari emisi GRK—termasuk melalui produksi bahan bakar fosil, konsumsi bahan bakar fosil, pemberian izin eksplorasi bahan bakar fosil, atau pemberian subsidi bahan bakar fosil-dapat merupakan tindakan yang salah secara internasional yang disebabkan oleh Negara tersebut. Artinya tanpa pengeculian terhadap negara manapun di dunia termasuk Amerika Serikat meski keluar dari Perjanjian Paris.

Mengakhiri pembacaan pendapat penasehat, Hakim Ketua ICJ Yuji Iwasawa menekankan bahwa pertanyaan yang diajukan oleh Majelis Umum PBB mewakili lebih dari sekadar masalah hukum: “pertanyaan tersebut menyangkut masalah eksistensial proporsi planet yang membahayakan semua bentuk kehidupan dan kesehatan planet kita.”Dia menyatakan harapan bahwa kesimpulan Pengadilan akan menginformasikan dan memandu tindakan sosial dan politik untuk mengatasi krisis iklim yang sedang berlangsung.

Mengintip NDC Indonesia
Seperti apa komitemen dan tindakan mitigasi iklim yang dipersiapkan pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim?

Merujuk pada hasil perundingan Persetujuan Paris (2015) membatasi kenaikan suhu global di bawah 2ºC, dan idealnya tidak melebihi 1,5ºC pada akhir abad 21. Setiap negara wajib berkontribusi dengan menetapkan komitmen dan target nasional mereka sendiri yang dikenal sebagai NDC atau Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional.

NDC pertama disusun pada tahun 2016, mencantumkan target utama pengurangan emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri dari skenario business-as-usual (BAU), dan 41% dengan dukungan internasional pada 2030. Target pengurangan itu mencakup lima sektor, yaitu kehutanan, energi, pertanian, proses industri dan penggunaan produk, dan sampah & limbah. Tahun 2021, Indonesia memperbarui komitmen iklim melalui dokumen Updated NDC. Target pengurangan emisi masih tetap sama tahun 2016. Namun, target pada pengurangan emisi di sektor energi dan kehutanan dan penggunaan lahan sedikit meningkat, khususnya dalam skenario jika ada dukungan internasional. Kemudian ada tambahan target Adaptasi Perubahan Iklim pada ketahanan ekonomi, sosial-penghidupan, serta ekosistem dan lanskap. Tahun 2022, Indonesia meningkatkan ambisi pengurangan emisinya melalui dokumen Enhanced NDC (ENDC). Target pengurangan emisi naik menjadi 31,89% dengan upaya sendiri hingga 43,2% dengan dukungan internasional. Tahun 2024, pemerintah Indonesia mengumumkan akan kembali memperbarui komitmen iklimnya melalui Second NDC. Second NDC akan selaras dengan tujuan global untuk menahan laju pemanasan bumi pada tingkat 1,5ºC.

Pemerintahan baru sekarang, Kementerian Kehutanan sedang menyusunan dokumen Second NDC bersama dengan para anggota Friends of NDC. Dalam sambutannya Menteri Kehutanan (16/6/2025) mengatakan, sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya atau Forestry and Other Land Uses (FOLU), mencantumkan target net sink sebesar -93,7 juta ton CO2 ekuivalen (skenario rendah) hingga -119,9 juta ton CO2 ekuivalen (skenario tinggi) pada 2030. FOLU Net Sink 2030 adalah kondisi di mana sektor kehutanan dan lahan di Indonesia mampu menyerap lebih banyak emisi CO2 dari yang dihasilkannya pada tahun 2030.

Ada banyak kritik terhadap pendekatan dekabornisasi global. Dekarbonisasi adalah proses mengurangi atau menghilangkan emisi karbon dioksida atau CO2 dan GRK lainnya dari berbagai aktivitas pembangunan, terutama yang berkaitan dengan pembakaran bahan bakar fosil. Ini adalah cara baru ‘alam’ dimobilisasi oleh elit pemilik modal global, oleh para pencinta lingkungan, dan oleh para kritikus tertentu. Menurut pemikir geografi Neil Smith dalam bukunya Uneven Development mengatakan, pertama, ‘pencucian alam’ sebagai ‘proses di mana transformasi sosial alam, di mana alam berubah secara sosial menjadi penentu super baru terhadap nasib sosial kita’. Kedua, alam di sini menjadi titik acuan empirik yang membenarkan argumen untuk ‘penyeimbangan karbon’ atau, lebih radikal lagi, ‘balas dendam Gaia (red. Dewi Bumi)’.

Pendapat penasehat ICJ dapatkah menjadi harapan baru untuk menyeret praktek dekarbonisasi palsu. Atau, sebaliknya para pemuja dekarbonisasi justru berpesta-pora menikmati keuntungan transaksi di atas penderitaan tangis air mata dan darah yang terabaikan?

Disusun oleh Ruddy Gustave, koordinator peneliti KONPHALNDO

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *