Ani Purwati – 02 Jun 2010
Indonesia tidak perlu mengandalkan hutang luar negeri yang akan menambah beban rakyat dan anggaran negara untuk mengatasi perubahan iklim. Ada tidaknya anggaran penanganan perubahan iklim tergantung dari kemauan pemerintah yang mempunyai kewajiban membuat kebijakan. Demikian menurut Riza Damanik sebagai Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) saat diskusi bersama wartawan di Jakarta, Rabu (2/6).
Sebenarnya Indonesia mempunyai kemampuan untuk menangani perubahan iklim tanpa hutang. Contohnya dalam kasus lumpur Lapindo yang merupakan hasil aktivitas korporasi, pemerintah mampu mengeluarkan 4,3 triliun rupiah dari 7, 12 triliun rupiah dana APBN 2014. Padahal di sisi lain, negeri ini membutuhkan dana untuk perubahan iklim. Dalam hal ini sepertinya pemerintah lebih memilih hutang. Periode 2008-2010 hutang luar negeri untuk perubahan iklim mencapai 20 triliun rupiah atau 2,3 milyar dolar Amerika Serikat (AS).
Menurut Dani Setiawan dari Koalisi Anti Utang (KAU), seharusnya prinsip pembiayaan penanganan iklim merupakan bentuk tanggung jawab negara maju sebagai penyumbang terbesar krisis iklim, berdasarkan konsep utang ekologis negara maju kepada negara berkembang. Bukan dalam bentuk hutang atau bantuan hibah yang sifatnya kondisionalitas yang cenderung menguntungkan pihak kreditur.
“Beberapa negara berkembang lainnya telah mengembangkan wacana hutang ekologis untuk mendapatkan hak-haknya atas iklim dari negara maju. Namun sayangnya Indonesia belum juga melakukannya. Sebaliknya terus mengejar dana iklim dari hutang,” jelas Setiawan dalam diskusi ini.
Yuyun Harmono dari KAU mengatakan, sejak 2007 pemerintah terus menarik dana penanganan perubahan iklim melalui hutang luar negeri . Data terakhir KAU, pada 2009 hutang luar negeri Indonesia untuk perubahan iklim mencapai 2,3 milyar dolar AS (68%). Sementara dana perubahan iklim yang sifatnya hibah (grant) hanya 1,1 milyar dolar AS (32%).
“Salah satu penyalur hutang untuk perubahan iklim Indonesia adalah lembaga keuangan Bank Dunia. Sebuah lembaga keuangan yang mencari keuntungan melalui hutang yang disalurkan. Berarti masih menerepkan praktik bussiness as ussual dalam penanganan perubahan iklim ini, bukan pemenuhan hak-hak iklim negara berkembang,” kata Harmono.
Sementara mekanisme hibah setelah berlangsungnya perundingan dengan negara maju seperti Norwegia yang mengucurkan dana hibah 1,1 milyar dolar AS di Oslo akhir April lalu, merupakan dukungan terhadap penerapan proyek REDD. Negara maju lain yang rencananya akan memberikan dana hibah melalui proyek REDD adalah Australia. Sementara proyek ini masih kontroversial di kalangan publik Indonesia terutama organisasi non pemerintah (Ornop).
Ornop menilai REDD merupakan mekanisme carbon offset. Yaitu negara maju tidak harus menurunkan emisi karbonnya, tapi cukup melakukan offset di negara berkembang dengan pemberian dana.
Menurut Edisius Riyadi dari Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA), mekanisme hutang oleh pemerintah ini menunjukkan sifat negara patrenalistik bukan demokrasi. Dalam patrenalistik, negara menganggap hutang tidak masalah untuk memenuhi kebutuhan rakyat tapi tidak melibatkan rakyat dalam mengambil keputusan hutang atau tidak. Hutang hanya melancarkan kelanjutan progressive developing dalam hal perubahan iklim.
“Sudah saatnya progresive developing dihentikan dengan menolak hutang dan hibah yang sifatnya kondisionalitas yang cenderung menguntungkan pihak kreditur,” kata Riyadi.
Yang perlu dilakukan saat ini menurutnya adalah regressive developing dengan merestorasi atau memulihkan kerusakan alam yang telah ada.
Menurut Berry Nahdian Furqan sebagai Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi ) Nasional, upaya perbaikan kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dari pemerintah telah ada dengan adanya UU No. 32 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Namun tidak cukup untuk memperbaiki tatanan ekonomi, politik dan fungsi-fungsi ekologi karena kebijakan lain masih berbenturan seperti UU penanaman modal, mineral dan batubara, dan pulau-pulau kecil. Semua kebijakan itu masih bersifat mendorong privatisasi dan liberalisasi sumber daya alam.
Pemerintah juga menyepakati proyek REDD sementara perusakan hutan masih terjadi. Sementara yang menjadi arus utama perundingan iklim adalah carbon trading (offset). Berry juga menekankan bahwa Indonesia tidak memerlukan hutang untuk penanganan iklim. Terlebih lagi hutang tersebut seringkali tidak digunakan untuk penanganan iklim, melainkan untuk keperluan lain atau untuk menutup defisit APBN.
Sumber pembiayaan penanganan iklim harus berasal dari dana publik, bukan dari swasta maupun mekanisme pasar. Selain itu pembiayaan iklim merupakan partisipasi aktif dalam perumusan dan implementasi dari kelompok rentan yang paling terkena dampak perubahan iklim.
Sebagai kelompok rentan , Achmad Yacub dari Serikat Petani Indonesia (SPI), mengatakan bahwa penanganan iklim dapat dilakukan melalui kebiasaan dan teknologi ramah lingkungan dari masyarakat setempat, bukan dari hutang. Para petani yang rentan perubahan iklim dampingan SPI telah menerapkan pertanian berkelanjutan (organik) yang rendah asupan kimia dan energi serta polikultur. Selain itu, pertanian organik juga dapat menyerap dan menyimpan karbon sehingga bermanfaat mengurangi emisi karbon melalui pengomposan sampah.
Dengan pembagian dan penanaman lahan terlantar seluas 7,5 hektar sebagai program pembaruan agraria yang dicanangkan pemerintah pada 2007, Indonesia juga dapat meningkatkan penyerapan karbon selain bisa menangani sekitar 3700 kepala keluarga (KK) rakyat miskin.
Kontradiktif
Sementara itu dalam pernyataannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan akan mengedepankan kehati-hatian dan menghindari hutang dalam mekanisme pembiayaan penanganan perubahan iklim. Koalisi Ornop ini menyatakan bahwa pernyataan itu kontradiktif dengan kenyataan yang berkembang. Seperti data yang ditemukan KAU, Pemerintah Indonesia telah berupaya mendapatkan hutang atas nama penanganan perubahan iklim.
Menurut Riza Damanik sebagai Sekretaris Jenderal Kiara, pernyataan itu disampaikan karena kemungkinan Presiden mendapatkan informasi yang keliru dari anak buahnya (Menkeu, Menhut, Ketua DNPI dan Kepala Bappenas). Kenyataannya data menunjukkan bahwa 68% dana perubahan iklim berasal dari hutang. Kemungkinan lainnya, Presiden tidak memberikan informasi yang sebenarnya pada publik.
Untuk mendapatkan kepastian tentang yang sebenarnya, DPR yang mempunyai fungsi anggaran, pengawasan dan registrasi seharusnya memanggil dan menanyakan pada Presiden.