Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Visi Bersama Jadi Perdebatan di Konferensi Perubahan Iklim Poznan

 

Ani Purwati – 05 Dec 2008

Perundingan Konferensi Perubahan Iklim di Poznan, Polandia diwarnai perbedaan dalam penekanan dan prioritas di antara para pihak, khususnya antara negara maju dan berkembang. Dalam pembukaan paripurna, Uni Eropa dalam berbagai pernyataannya jelas bahwa prioritasnya adalah penerimaan visi bersama (shared vision) atas tujuan global pengurangan emisi pada 2050.

Beberapa negara berkembang melihat bahwa penekanan yang berlebihan atas isu visi bersama terlalu menghabiskan waktu isu lain.

Menurut Meena Raman dalam laporannya di Third World Network- TWN (1/12), dalam pembukaan paripurna ad hoc working group on long term cooperative action (AWG LCA), sebagaian besar negara berkembang melihat bagaimana isu visi bersama mendominasi agenda dan waktu pertemuan di Poznan.  Visi bersama dibahas dalam workshop, contact group, dan diskusi tingkat menteri (Ministerial Roundtable).

Setelah ditunda beberapa saat oleh Ketua AWG LCA, Luis Machado dari Brazil agar bisa berkonsultasi, akhirnya disampaikan bahwa contact group tentang visi bersama akan dibahas selama satu hingga dua jam.

Dalam pembukaan AWG LCA itu, G77 dan China menekankan usulan tentang pendanaan dan tekonologi. Antigua and Barbuda yang mewakili kelompok ini mengatakan usulan tentang penguatan mekanisme pendanaan disesuaikan dengan kepastian pelaksanaan Konvensi perubahan iklim. Usulan itu meminta kepastian sumber daya pendanaan dan investasi untuk mendukung aksi mitigasi dan adaptasi seperti pembangunan dan transfer teknologi yang diminta Bali Action Plan.

Mereka juga menekankan pentingnya kerja LCA atas adaptasi, memberi anggota negara berkembang yang rentan dampak perubahan iklim, dan berharap ada perkembangan atas isu itu.

Awalnya, AWG melihat perdebatan atas visi bersama. Para pihak menyetujui Bali Action Plan untuk membahas isu visi bersama dalam aksi kerjasama jangka panjang, termasuk tujuan global jangka panjang pengurangan emisi, untuk mencapai hasil akhir konvensi.

EU dengan didukung yang lain, telah mendukung tujuan jangka panjang pengurangan emisi 50% pada 2050, yang disampaikan saat pembukaan konferensi. Sebagian besar negara berkembang percaya bahwa tujuan global juga akan mengharuskan mereka mempunyai target pengurangan emisi, dan ingin menunda pembahasannya sampai mereka tahu bagaimana komitmen pendanaan dan teknologi negara maju akan dipenuhi dan seberapa besar.

Akhirnya Ketua AWG-LCA, Luiz Machado, mengatakan bahwa visi bersama akan dibahas dalam workshop.

Setelah konsultasi, Machado menyampaikan contact group visi bersama akan berlansung satu sampai dua jam pertemuan di Poznan. Dia juga meyakinkan para pihak bahwa hasil Ministerial roundtable tidak akan mempunyai kepastian pada proses AWG LCA. Dia mengatakan bahwa diskusi Ministerial Roundtable akan dicantumkan dalam summary Presiden COP.

Visi Bersama Dibahas di Workshop

Pembedaan menjadi fakta pada isu visi bersama (shared vision) dalam workshop di Konferensi Perubahan Iklim, Poznan, Polandia (2/12). Ketua workshop yang diadakan  ad hoc working group on long-term cooperative action (AWG LCA) itu, Luiz Machado dari Brazil menjelaskan bahwa ini merupakan forum dimana ada pertukaran pandangan informal untuk memperdalam pemahaman dan memperjelas usulan bagaimana meningkatkan pelaksanaan konvensi.

Menurut Martin Khor dari TWN, negara-negara berkembang yang berbicara juga mempunyai pandangan yang sama bahwa visi bersama tidak dapat hanya satu dimensi atau fokus hanya pada penetapan target global pengurangan emisi, tetapi harus lebih komprehensif,  mencakup juga adaptasi dan transfer pendanaan dan teknologi antara Utara Selatan.

Sementara itu EU dan Jepang meminta dengan jelas tujuan jangka panjang. EU menyebutkan emisi global berkurang 50% pada 2050 dibandingkan 1990, dan Jepang juga menyebutkan pengurangan emisi global 50% pada 2050 tanpa menyebutkan dasar tahunnya.

Isu visi bersama menjadi salah satu pembahasan utama. Negara maju berpendapat bahwa penyusunan tujuan global jangka panjang pengurangan emisi akan langsung dilakukan untuk aksi ke depan. Di pihak lain, sebagian besar negara berkembang (termasuk beberapa yang besar tidak ingin menyusun tujuan global (setidaknya saat ini) karena ini mungkin memasukkan target untuk negara berkembang, dan lebih dari itu tidak ada rencana nyata untuk menyediakan pendanaan dan teknologi kepada negara berkembang.

Bahama sebagai wakil negara-negara pulau kecil mengatakan bahwa visi bersama harus mempunyai kesungguhan dalam target pengurangan emisi pada jangka menengah dan panjang, kerangka untuk melaksanakan empat pilar Bali Action Plan, dan harus mencegah dampak lebih lanjut pada negara paling rentan.

Tentang mitigasi, negara tersebut minta  pengurangan yang lebih dalam dengan puncaknya pada 2015 dan pengurangan setelahnya. Negara maju harus yang memulai. Sedangkan negara berkembang harus mengambil aksi berdasar BAP, dengan perkembangan sekarang didukung pendanaan dan teknologi.

Tentang adaptasi Bahama ingin penyusunan institusi dalam konvensi, dengan sumber tambahan dan baru di atas ODA. Dana harus bantuan bukan pinjaman, sesuai dengan prinsip pembayar pencemar.

Tujuan jangka panjang harus mempunyai konsentrasi gas rumah kaca di bawah atau sama dengan 350 ppm CO2, dan batas peningkatan suhu di bawah 1,5 derajat, dengan pengurangan global lebih dari 85% pada 2050 dibanding 1990. Negara Annex I seharusnya mengurangi lebih dari 40% pada 2020 dan lebih dari 95% pada 2050 dibandingkan 1990.

Sedangkan, Jepang ingin target pengurangan global tidak mengikat setidaknya 50% pada 2050. Dia mengatakan emisi CO2 dari fosil sekarang adalah 7,2 GtC per tahun sedangkan kemampuan penyerapannya 3,1 GtC per tahun. Emisi yang dua kali lipat kemampuan serap itu  harus dipotong. Transisi pada  masyarakat rendah karbon harus dibuat melalui inovasi teknik, gaya hidup dan infrastruktur.

Sumber: http://www.twnside.org.sg/climate.news.poznan.htm

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *