Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Tanpa Transparansi, Kesepakatan Perubahan Iklim Kopenhagen Hanya Kata-Kata Kosong

Ani Purwati – 21 Dec 2009

Tanpa transparansi dan akuntabilitas, setiap kesepakatan hasil Konferensi Perubahan Iklim untuk mengurangi emisi gas rumah kaca akan menjadi “kata-kata kosong pada halaman teks”. Demikian menurut salah satu delegasi Amerika Serikat seperti yang dikutip Reuters.

Teks kesepakatan, Copenhagen Accord yang dibahas pada hari Jumat (18/12) di antaranya menyangkut bantuan iklim 100 miliar dolar AS setiap tahun pada tahun 2020 dari negara-negara kaya (Annex I) untuk negara-negara berkembang dalam upaya memerangi perubahan iklim, serta mencapai batas pemanasan global dan emisi gas rumah kaca pada tahun 2050.

Sementara negara berkembang (Non-Annex I) melaksanakan upaya mitigasi perubahan iklim  bekerjasama dengan negara Annex I secara sukarela. Upaya mitigasi ini menurut kajian domestik, pelaporan dan verifikasi hasil yang akan dilaporkan melalui komunikasi nasional setiap dua tahun.

Tapi teks kesepakatan gagal mencapai ambisi awal dari Kopenhagen untuk mencapai kesepakatan mengikat secara hukum pada tahun depan.

Menurut delegasi Amerika Serikat, kesepakatan tercapai setelah pertemuan multilateral antara Presiden Amerika Serikat (AS), Barack Obama, Perdana Menteri China, Wen Jiabao, Perdana Menteri India, Manmohan Singh dan Presiden Afrika Selatan, Jacob Zuma. Tapi ini tidak cukup untuk memerangi ancaman perubahan iklim, hanya sebagai langkah awal.

“Tidak ada negara yang sepenuhnya puas dengan setiap elemen teks tapi ini sudah bisa menjadi langkah maju yang bermakna dan bersejarah serta sebuah landasan untuk membuat kemajuan lebih lanjut,” tambah pejabat itu.

Meski demikian sebagian negara kaya dan miskin telah setuju untuk sebuah “mekanisme keuangan,” pemotongan emisi untuk menghentikan pemanasan global hingga 2 derajat Celsius, dan “untuk memberikan informasi mengenai pelaksanaan tindakan mereka.”

Uni Eropa, yang telah menetapkan target pengurangan emisi ambisius dan mendorong negara lain untuk mengikutinya, dengan berat hati menerima kesepakatan lemah yang akhirnya muncul.

“Keputusan ini sangat sulit bagi saya. Kami telah melakukan satu langkah, kita berharap untuk beberapa lagi,” kata Kanselir Jerman, Angela Merkel seperti dikutib CNBC.

Dalam jam-jam terakhir perundingan, yang dimulai pada tanggal 7 dan berakhir pada 19 Desember, delegasi sepakat untuk menetapkan tenggat waktu untuk menyepakati perjanjian PBB pada akhir 2010.

Dikatakan bahwa kesepakatan itu untuk memerangi pemanasan global dan mempromosikan ekonomi dunia yang lebih bersih tanpa bergantung pada bahan bakar fosil.

Kesepakatan secara eksplisit mengakui “pandangan ilmiah” bahwa dunia harus membatasi pemanasan global tidak lebih dari 2 derajat Celsius – walaupun pemotongan emisi yang dijanjikan itu jauh dari jumlah yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan itu.

Duta Besar Brazil untuk  Perubahan Iklim, Sergio Serra mengatakan bahwa dunia punya pekerjaan besar ke depan untuk menghindari perubahan iklim melalui target pengurangan emisi yang efektif, dan ini tidak dilakukan di sini.

Sementara itu Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan pada wartawan bahwa Kesepakatn Kopenhagen memang belum memuaskan, tetapi menjadi solusi karena dalam konferensi yang telah melibatkan lebih dari 120 kepala negara/pemerintahan itu gagal mencapai konsensus.

Presiden menjelaskan, pasca-Kesepakatan Kopenhagen, pada pertengahan 2010 akan dilakukan kembali perundingan yang lebih substantif di Jerman. Kemudian dilanjutkan dengan Pertemuan Para Pihak ke-16 (COP-16) di Meksiko pada akhir 2010.

Melalui proses perundingan ini diharapkan dapat disusun protokol baru sebagai lanjutan Protokol Kyoto yang periode pertamanya berakhir pada 2012. Presiden Yudhoyono juga menekankan pentingnya protokol baru disusun dengan memetik pelajaran dari kegagalan implementasi Protokol Kyoto.

Sumber: CNBC, Kompas, Reuters, UNFCCC

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *