Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Proyek Privatisasi Air ADB Tingkatkan Krisis Pangan

Anton Muhajir – 06 May 2009

Dalam persyaratan utang yang diberikan, proyek ADB yang terkait dengan pertanian dan air didesain untuk mendukung terjadinya privatisasi air dengan keterlibatan sektor swasta yang lebih besar. Pada 1999, misalnya, ADB dan Japan Bank for International Coopeartion (JBIC) memberikan pinjaman 600 juta pada Thailand untuk mengubah kebijakannya terkait dengan air.

Demikian menurut Dwi Astuti dari Asia Pasific Network for Food Sovereignty (APFNS) dalam diskusi tandingan pertemuan ADB di Nusa Dua, Bali oleh kalangan organisasi non pemerintah (ornop) di Sanur, Bali akhir pekan lalu.

Hal yang sama terjadi pada Srilanka pada 2001 yang juga membuat kebijakan baru terkait pengelolaan air. Di Indonesia pun terjadi. Pada tahun 2004, Indonesia menyetujui Undang-Undang Sumber Daya Air sebagai salah satu syarat utang dari Bank Dunia yang didukung ADB.

Melalui makalahnya, Reclaim Our Water Right, Reclaim Our Food Sovereignty, Astuti menyebutkan bahwa adanya aturan baru terkait dengan pengelolaan air oleh pihak swasta saat ini mengakibatkan swasta menguasai sumber daya air. Akibatnya jelas, kedaulatan pangan di negara berkembang pun terancam.

Menurut Astuti, petani kecil yang sudah terjerat oleh naiknya biaya produksi, sekarang harus bersaing dengan perusahaan swasta untuk mendapatkan air. Mereka pun harus menggadaiakan lahannya atau beralih pada komoditas yang bernilai tinggi, dan itu biasanya bukan tanaman pangan.

Selain itu privatisasi air juga mengakibatkan masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan. Karena dikuasi oleh perusahaan swasta, maka air bersih dan sehat pun semakin susah diperoleh oleh rumah tangga yang miskin. Bahkan hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan air oleh swasta mengakibatkan langkanya air di 600 ribu rumah tangga di sub-Sahara Afrika, Asia Selatan dan Asia Timur, di luar Cina.

Proyek ADB lain yang merugikan petani kecil terjadi di Am Theun, Laos. Proyek pengelolaan air yang dibiayai ADB akan menggusur 6000 keluarga. Di Filipina, warga adat Dumagats dan Remontados harus terusir akibat pembangunan bendungan Laiban. ADB menyediakan uang 1 milyar dalam proyek ini.

Dampak paling parah terkait dengan proyek yang dibiayai ADB adalah pembangunan saluran irigasi.  Dari yang sebelumnya dibangun oleh negara, saluran irigasi kini dibangun oleh swasta. Kemudian petani harus membayar sebagai ganti rugi dari biaya pembangunan irigasi tersebut. “Parahnya lagi pembangunan irigasi tersebut tidak pernah melibatkan petani kecil,” kata Astuti.

Di Indonesia, dalam konferensi ADB pada 2005, muncul fakta bahwa pembangunan saluran irigasi di Indonesia pun tidak membuat peningkatan wilayah dan kualitas irigasi. Sebaliknya, saluran irigasi oleh pihak swasta justru melenyapkan kearifan lokal dalam pengelolaan air.

Untuk itulah APFNS meminta agar ADB menghentikan proyek-proyeknya yang mendukung privatisasi air. ADB juga harus memperhatikan dampak pinjaman mereka pada terancamnya ketahanan pangan di negara berkembang. Selain itu, ADB juga harus mengganti kerugian masyarakat dan komunitas yang terkena dampak buruk proyek-proyek ADB. APFNS juga mendesak agar ADB menghentikan semua pinjamannya terkait pengelolaan air dan pertanian yang membahayakan keberlangsungan hidup manusia.

Diskusi tandingan terhadap sidang Asian Development Bank (ADB) di Nusa Dua ini diikuti Asia Pasific Network for Food Sovereignty (APFNS), VECO Indonesia, Bina Desa, Aliansi Petani Indonesia, serta LSM lain dari Filipina dan Bangladesh.

Berita Terkait:

http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&newsID=B0150&ikey=1

http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&newsID=B0149&ikey=1

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *