Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Konferensi Perubahan Iklim Kopenhagen Mulai, Isu-Isu Kunci Masih dalam Sengketa

Disarikan Ani Purwati – 08 Dec 2009

Perhelatan terbesar dunia tahun ini, Konferensi Perubahan Iklim Kopenhagen telah dimulai pada 7 Desember 2009. Selama dua minggu ke depan, para pemimpin dunia dan para negosiator akan mencoba membahas secara mendalam unsur-unsur kesepakatan global tentang bagaimana secara kolektif mengatasi apa yang dapat dikatakan sebagai ancaman terbesar dunia, bencana pemanasan global yang akan membuat kehidupan manusia sangat sulit atau tidak mungkin dalam beberapa dekade.

Sekitar 30.000 orang akan berkumpul di ibukota Denmark ini dan menjadi bagian dari acara ini. Para diplomat dari hampir 200 negara telah datang. Mereka akan mempelajari lebih dari ratusan halaman teks yang mungkin akan membentuk dasar kesepakatan, atau setidaknya sebuah kerangka untuk pembicaraan lebih lanjut dan kesepakatan akhir tahun depan.

Yang juga hadir dalam perhelatan akbar ini adalah aktivis lingkungan hidup, masyarakat adat, serikat buruh, ilmuwan, sarjana, yang ingin mengawal apa hasil atau tidak dihasilkan dari Kopenhagen. Ada sekitar 5.000 wartawan yang diharapkan meliput peristiwa ini.

Minggu depan Menteri Lingkungan Hidup akan tiba, diikuti setidaknya seratus Presiden dan Perdana Menteri pada tanggal 17 dan 18 Desember, yang diharapkan mendukung pernyataan diplomat dan Menteri yang telah disepakati.

Menurut Martin Khor, Direktur South Centre, sebuah lembaga interpemerintah negara-negara berkembang, konferensi telah diberi penyemangat beberapa menit terakhir oleh pengumuman Jumat lalu bahwa Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama akan datang pada tanggal 18 Desember untuk bergabung dalam pertemuan tingkat tinggi bagian dari konferensi.

Para delegasi diharapkan ada di Kopenhagen saat diplomasi panjang siang dan malam, karena banyak isu-isu kunci yang masih dalam sengketa. Hal ini tidak mengherankan.

Meskipun semua negara percaya pada bukti ilmiah bahwa perubahan iklim adalah ancaman serius, tapi mereka tidak setuju pada pembagian tanggung jawab (terutama dalam hal mengurangi emisi gas rumah kaca mereka), berapa banyak biaya, dan siapa yang akan membayar tagihan. 

Yang tadinya merupakan topik lingkungan hidup telah menjadi sebuah isu kompleks antara ekonomi, keuangan dan isu-isu politik. Negara-negara maju menekankan perlunya target untuk mengurangi emisi global, dengan semua negara memainkan bagian mereka.
 
Negara-negara berkembang khawatir apakah tindakan untuk mengurangi emisi akan mempengaruhi perkembangan ekonomi mereka. Mereka menekankan perlunya ekuitas, bahwa negara-negara kaya harus cukup dalam transfer keuangan dan teknologi yang memungkinkan negara-negara miskin mengurangi emisi dan mengatasi dampak perubahan iklim.

Isu-isu Kunci

Dijelaskan mantan Direktur Third World Network (Jaringan Dunia Ketiga) ini, ada perselisihan pada banyak isu-isu kunci yang akan ada di Kopenhagen dua minggu ke depan. Pertama adalah apakah negara-negara maju bersedia melakukan bagian mereka untuk mengurangi emisi. Janji mereka sejauh ini sangat rendah, hanya 12-19 persen pada tahun 2020 (dibandingkan dengan tingkat tahun 1990). Ini jauh di bawah 40% pemotongan yang perlu mereka lakukan sesuai tuntutan negara-negara berkembang, dan di bawah kisaran 25-40 persen yang ditunjukkan oleh penelitian yang dikutip oleh Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), dan panel perubahan iklim PBB.

Ketua kelompok negosiasi angka-angka telah memperingatkan bahwa “kita akan menjadi bahan tertawaan” pada akhir pertemuan Kopenhagen dengan ambisi rendah ini. Negara maju dituntut pemotongan lebih dalam. Akankah negara-negara maju akan merespons?

Sebuah masalah khusus  adalah Amerika Serikat, yang sekarang tingkat emisinya telah membengkak menjadi jauh lebih tinggi daripada 1990. Dimana menawarkan untuk memotong sebesar 17% pada 2020 dibandingkan dengan tahun 2005 adalah hanya 2 hingga 7 persen di bawah tahun 1990, yang berada di bawah 20 atau 30 persen target yang yang disediakan Eropa secara sendiri.

Kedua adalah keputusan nyata oleh negara-negara maju yang menjadi anggota dari Protokol Kyoto yang mengikat secara hukum (hanya di AS bukan anggota) untuk bergerak keluar dari protokol dan bergerak dengan Amerika Serikat ke dalam perjanjian baru yang mungkin tidak mengikat secara internasional, tapi hanya membutuhkan masing-masing negara membuat janji dan dikenakan pengkajian tajam.

Hal ini telah menimbulkan kemarahan negara-negara berkembang. Mereka merasa bahwa negara-negara kaya turun dari komitmen mereka pada saat mereka harus melangkah, dan memindahkan tanggung jawab kepada negara-negara berkembang, terutama karena negara-negara kaya ini bersikeras bahwa negara-negara berkembang seperti China, India, dan Brasil bergabung dalam kewajiban negara-negara kaya.

Jika China dan India diperdebatkan pada hari ini, seluruh negara-negara berpendapatan menengah seperti di ASEAN (10 kelompok anggota Selatan dan negara-negara Asia Timur) akan diperdebatkan di hari berikutnya. Bahkan orang Eropa sudah menekankan bahwa semua negara-negara berkembang berkomitmen untuk memperlambat emisi 15-30 persen di bawah “bisnis tingkat biasa” mereka.

Tentu saja ada banyak masalah dengan hal ini, setidaknya hampir tidak ada pemerintah negara berkembang yang tahu apa yang dimaksud dengan “bisnis tingkat biasa”, atau bagaimana tingkat pembagian 15-30% berasal, atau apa artinya bagi ambisi pertumbuhan ekonomi mereka.
  
Ketiga adalah masalah uang. Negara-negara maju tidak hanya berjanji, tetapi juga secara hukum berkomitmen membayar negara-negara berkembang untuk meningkatkan biaya yang berkaitan dengan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan iklim. Hal ini tidak terwujud sejak 15 tahun lalu.

Kali ini negara berkembang menginginkan dana iklim yang baru diciptakan dalam Konvensi PBB (dan bukan dana yang dilakukan melalui Bank Dunia seperti keinginan negara-negara maju) dan komitmen hukum untuk memberikan kontribusi paling sedikit US 200-400 miliar per tahun. Jumlah ini sebenarnya lebih rendah dari beberapa penelitian yang mengatakan diperlukan untuk aktivitas di negara berkembang.

Di Kopenhagen, negara berkembang ingin kesepakatan bahwa setidaknya dana baru akan dibentuk dalam tata kelola dan kebijakan yang mereka katakan adil. Nilai US 10 miliar yang disebutkan oleh beberapa pemimpin negara maju juga dilihat sangat tidak memadai.

Keempat adalah transfer teknologi ramah iklim, yang merupakan komitmen lain yang dibuat tetapi tidak terwujud. Negara-negara berkembang menginginkan sebuah badan baru yang dibentuk dalam Konvensi dengan kewenangan membuat kebijakan dan mengawasi transfer. Mereka juga ingin aturan kekayaan intelektual yang santai sehingga teknologi dapat ditransfer dengan biaya lebih rendah.

Sejauh ini negara maju bahkan tidak setuju dengan pembentukan sebuah badan pembuat kebijakan teknologi, tapi lebih memilih kelompok penasehat dengan sedikit kekuasaan. Dan mereka gigih menentang segala relaksasi aturan kekayaan intelektual global, karena takut akan mengurangi monopoli teknologi.

Kelima adalah apakah untuk menetapkan target 2050 untuk membatasi kenaikan suhu (pada suhu 1.5 atau 2 derajat) atau untuk memotong emisi global (misalnya sebesar 50% dibandingkan dengan 1990), atau keduanya. Negara-negara maju juga memancing untuk dimasukkan ke dalam 80% memotong emisi mereka sendiri.

Masalahnya dengan serangkaian target adalah bahwa negara-negara berkembang secara tidak langsung akan dapat menyetujui untuk memotong emisi besar bagi diri mereka sendiri (20% secara absolut dan 60% di tahun per kapita). 

Maka mereka harus tidak setuju dengan target 80% negara-negara maju untuk diri mereka sendiri, karena ini adalah terlalu rendah. Bahkan memotong 50% global harus berdasarkan dan didahului oleh keuangan dan teknologi yang cukup bagi negara-negara berkembang untuk memungkinkan mereka berkontribusi pada usaha global.

Ini hanya beberapa dari masalah yang dihadapi dalam perdebatan Kopenhagen dua minggu mnanti. Topik-topik lain termasuk cara menghadapi deforestasi, mekanisme pasar seperti perdagangan karbon, apakah untuk membatasi “offset” yang negara-negara kaya gunakan untuk menghindari pengurangan emisi domestik penuh, dan proteksi perdagangan pada alasan iklim.

Inilah sebabnya mengapa kesepakatan iklim yang penuh tidak dapat dijangkau di Kopenhagen. Banyak yang dipertaruhkan, banyak isu yang terlibat, dan banyak dari masalah itu belum terpecahkan. Mudah-mudahan akan ada kesepakatan dalam berbagai isu-isu ini sebelum Presiden dan Perdana Menteri tiba.

Sumber: http://www.twnside.org.sg/title2/climate/copenhagen.up.01.htm

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *