Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Herbisida dan Resistensi Antibiotik

Baru-baru ini, hasil selama dua tahun penelitian atas efek sub-lethal dari penggunaan tiga herbisida gulma tanaman yang paling banyak digunakan mengungkap temuan-temuan yang mengganggu berkaitan dengan resistensi pada antibiotik. Salah satu penelitinya adalah Jack Heinemann, menjelaskan. Berikut adalah terjemahan bebas artikelnya.

Gulma adalah tanaman yang tumbuh tapi tidak diinginkan. Herbisida dijual untuk membunuh gulma. Nampak sederhana tapi tidak.

Herbisida dibuat dari berbagi macam bahan kimia. Seringkali disebut sebagai bahan aktif, yang menjadi komponen utama dari ‘keampuhan herbisida’. Komponen aktif ini harus bisa disemprot dan menempel ke tanaman target, yang biasanya membutuhkan bahan lain, seperti surfaktan dan adjuvant untuk membuat herbisida praktis digunakan.

Setiap bahan yang digunakan dalam herbisida memiliki potensi merusak organisme yang bukan merupakan target utama dari penggunaan herbisida. Pengetahuan yang utuh atas kerusakan ini menjadi informasi bagi regulator untuk membuat keputusan, bagaimana dan untuk tujuan apa herbisida bisa digunakan. Namun apakah regulator memiliki pengetahuan yang cukup?

Mungkin tidak, dalam tahun ini, kami telah mengeluarkan hasil penelitian selama 2 tahun mengenai efek sub-lethal (kurang mematikan) dari tiga formulasi komersial herbisida untuk bakteri (Kurenbach et al., 2015). Ketiganya menyebabkan efek yang tidak diperkirakan sebelumnya pada semua bakteri yang diuji. Dampak ini adalah bahwa secara seragam, bakteri merespon dengan memperlihatkan suatu perubahan kemampuan mereka dalam bertahan atas paparan racun lain yang digunakan dalam pengobatan ternak dan klinis, yang kami sebut antibiotik.

Tiga herbisida adalah Roundup, Kamba dan 2,4-D. Bahan aktif dari ketiga herbisida tersebut masing-masing adalah glifosat, dikamba dan 2,4-dichlorophenoxyacetic acid. Ketiga herbisida tersebut merupakan bahan aktif yang paling banyak digunakan di dunia dimana herbisida dengan bahan aktif glifosat yang paling banyak digunakan. Bahan tersebut digunakan dalam pertanian, juga dalam tempat umum, lapangan olah raga serta halaman rumah.

Bakteri yang digunakan dalam penelitian ini adakah jenis yang menyebakan penyakit pada manusia, yaitu Salmonella enterica dan Escherichia coli. Bakteri ini merespon mengikuti beberapa jenis – spesifik pada setiap herbisida dan antibiotik. Seringkali, mereka memperlihatkan peningkatan resistensi atas antibiotik yang diujikan. Kadang-kadang, tidak ada respons atau meningkat dalam sensitifitas pada antibiotik. Terlalu dini untuk berasumsi bahwa peningkatan sensitifitas akan berdampak menguntungkan, kami masih mengujinya.

Peningkatan resistensi adalah merupakan pengamatan yang dilakukan serius karena efektifitas dari antibiotik akan menurun. Bahkan jika penambahan resistensi relatif kecil dapat merugikan perawatan dengan antibiotik tersebut. Misalnya, sebuah studi menemukan bahwa dua kali perubahan dalam resistensi infeksi bakteri cukup untuk membuat 21 persen dari pasien untuk mendapatkan dosis kurang dari yang dibutuhkan dari antibiotik yang direkomendasikan. Dan ketika resistensi mencapai 4 kali lipat, 75 persen dari pasien gagal untuk memperoleh dosis yang diperlukan (Haeseker et al., 2013). Penelitian atas dampak tersebut, diukur menyebabkan perubahan antara 2 dan 6 kali.

Efek yang dibutuhkan untuk terpapar pada sumber yang lebih terkonsentrasi atas herbisida dari pada yang diperbolehkan dalam pangan seperti misalnya ‘batas residu maksimal yang ditentukan’ oleh Codex Alimentarius. Bagaimanapun, jauh lebih sedikit herbisida daripada yang diperbolehkan diterapkan dalam tanaman membuat efek. Karena itu, petani potensial tetapi khususnya binatang dalam pertanian terpapar melalui udara, semprotan atau pangan yang konsumsi dalam pertanian dapat memiliki tingkat herbisida ini. Serangga seperti polinator dapat juga terpapar pada tingkatan ini. Dalam kota, anak-anak dan binatang piaraan mungkin juga terpapar karena mungkin mereka berjalan atau bermain di rerumputan dan tanaman yang disemprot dengan herbisida. Semua ini adalah paparan yang tidak disengaja pada hewan dan manusia yang secara rutin menerima antibiotik untuk mengendalikan penyakit.

Bahkan ketika orang-orang dan hewan tidak langsung terpapar pada herbisida, orang dan hewan mungkin terpapar bakteri ketika mereka secara langsung terpapar bakteri. Misalnya di beberapa negara, penggunaan antiobiotik di peternakan sangat tinggi sampai terdeteksi pada limbah kotoran hewannya. Kotoran ini digunakan sebagai pupuk yang mungkin bertemu dengan herbisida. Ini akan menjadi campuran yang akan menghasilkan resistensi. Penelitian lain, memperlihatkan bahwa serangga seperti lalat akan singgah di kotoran dan mendapatkan bakteri, secara potensial membawa kotoran tersebut ke tempat lain (Zurek and Ghosh, 2014).

Paparan pada herbisida melalui mulut, disebut paparan pencernaan (ingestion exposure), tetapi tidak terbatas pada memakan makanan. Ada juga yang melalui non-makanan. Misalnya tangan kota mungkin terpapar berbagai residu yang ditemukan pada berbagai produk melalui tangan ketika panen maupun perseiapan. Ini mungkin akan membuat cara ‘dari tangan ke mulut untuk terpapar herbisida. Kami tidak yakin dengan betapa tingginya kemungkinan konsentrasi di kulit. Inilah mengapa kami berpikir bahwa binatang peliharaan akan menjadi pembawa potensial dalam penelitian. Binatang peliharaan akan terpapar tingkat konsentrasi penggunaan herbisida ketika mereka bergerak pada rumput dan kebun yang baru saja dirawat dengan herbisida, dan mungkin mereka akan memindahkannya ke tangan atau muka manusia yang memegangnya.

Penelitian kami juga menemukan bahwa kombinasi dari berbagai produk (misalnya kamba dengan aspirin) memiliki efek tambahan (aditif). Kemungkinan paparan bahan kimia lain dapat juga dikombinasikan dengan herbisida untuk membuat efek tesebut. Ini efektif rendah bagaimana herbisida dibutuhkan dalam membuat efek tersebut.

Efek aditif dari aspirin memiliki ironi. Aspirin adalah acetylsalicylic acid atau salisilat. Komponen ini telah dikenal dalam pertanian sebagai ‘pengaman’ yaitu campuran yang ditambahkan pada tanaman target untuk mengurangi toksisitas herbisida. Daniel Goldstein1 dari Monsanto menyebut glifosat (walaupun bukan RoundUp) sebagai tidak lebih toksik dari pada aspirin2. Ahli lain juga membuat perbandingan ini (Duke and Powles, 2008).

Mengapa ini ironi? Secara efek, herbisida juga menjadi pengaman. Namun efek herbisida akan menurunkan toksisitas dari beberapa antibiotik pada bakteri.

Prof Jack Heinemann dari Centre for Integrated Research in Biosafety (INBI) dan School of Biological Sciences at the University of Canterbury in New Zealand.

Catatan Akhir

  1. http://monsantoblog.com/2013/07/03/a-pediatricians-inside-monsanto/
  2. See ‘dagtox’ comment under this article: http:/www.scientificamerican.com/article/weed-whacking-herbicide-p/

Referensi
Duke, S.O. and S.B. Powles. 2008. ‘Glyphosate: a once-in-a-century herbicide’. Pest Manag Sci 64, 319-325.

Haeseker, M., L. Stolk, F. Nieman, C. Hoebe, C. Neef, C. Bruggeman and A. Verbon. 2013. ‘The ciprofloxacin target AUC : MIC ratio is not reached in hospitalized patients with the recommended dosing regimens’. Br J Clin Pharm 75, 180-185.

Kurenbach, B., D. Marjoshi, C. Amabile-Cuevas, G.C. Ferguson, W. Godsoe, P. Gibson and J.A. Heinemann. 2015. ‘Sub-lethal exposure to commercial formulations of the herbicides dicamba, 2,4-D and glyphosate cause changes in antibiotic susceptibility in Escherichia coli and Salmonella enterica serovar Typhimurium’. mBIO in press, 9-15. DOI 10.1128/mBio.00009-15

Zurek, L. and A. Ghosh. 2014. ‘Insects represent a link between food animal farms and the urban environment for antibiotic resistance traits’. Appl Environ Microbiol 80, 3562-3567.

Third World Resurgence No. 295, Maret 2015, halaman 23-24

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *